Oleh: Reviandi
Tidak melulu soal uang. Menjadi wakil rakyat kadang hanya butuh ilmu bisa meyakinkan orang. Calon-calon pemilih yang suaranya pasti. Yang mau datang ke bilik dan memberikan suara. Bukan orang-orang yang mengaku bisa mendatangkan puluhan, ratusan, bahkan ribuan pemilih untuk seorang calon. Soal caranya, banyak cara menuju ke sana.
2019 lalu, seorang pemuda tidak sampai harus keluar uang jutaan untuk mendapatkan salah saru kursi di DPRD tingkat dua di Sumbar. Namun, kesungguhannya meyakinkan calon pemilih sangat patut diacungi jempol. Setiap hari, beberapa bulan jelang pencoblosan dia berkeliling di daerah pemilihannya.
Usai Subuh, sang Caleg dengan semangat menggulung beberapa poster dirinya dan memasukkan stiker ke dalam tas ranselnya. Tak lupa membawa lem, klip tembak dan tali temali. Dia juga dibekali nasi bungkus oleh istri tercintanya di rumah. Anak mereka masih kecil-kecil, sangat kecil malah.
Sang Caleg memilih lokasi berkampanye yang dekat-dekat dengan rumahnya terlebih dahulu. Dia mampir ke kedai-kedai yang pemiliknya kebanyakan di kenal. Selanjutnya terus melebar mengikuti daerah pemilihan. Pernah jadi aktivitis mahasiswa dan juga pegiat sosial, membuatnya sudah cukup dikenal. Tapi tak banyak yang tahu, pemuda itu mau maju menjadi anggota legislatif. Mungkin, anggapan kebanyakan, menjadi anggota dewan harus punya modal. Kaya. Minimal ada simpanan atau pinjaman.
Berbeda dengan sang pemuda, dia meyakinkan semua orang yang dikenalnya atau tidak, dia akan maju dalam Pileg 2019. Dia dari partai anu, daerah pemilihan di situ dan nomor urut segitu. Dia terus berkeliling tanpa lelah, hanya bermodal poster yang kebanyakan dicetaknya sedikit demi sedikit. Mayoritas dipasang sendiri. Bahkan hampir tak punya tim sukses, hanya dibantu keluarga dan kolega terdekat saja. Pastinya tanpa dibayar pula.
Hasilnya, dia pun terpilih menjadi wakil rakyat, meski bukan berada di nomor urut satu. Beruntung, Pileg periode lalu masih menggunakan sistem proporsional tertutup dan penghitungan kursi sainte lague. Menggunakan penghitungan suara terbanyak dan diikuti pembagian 3, 5, 7 dan seterusnya. Kalau pakai sistem tertutup, yakinlah si pemuda belum akan duduk. Jabatannya di partai belum apa-apa. Sekarang lumayan.
Berbeda dengan Caleg pertama, ada pula kader partai yang tak ragu mengeluarkan uang ratusan juta hanya untuk memastikan dia menjadi Caleg. Belum lagi setoran nomor urut, memastikan namanya masuk daftar Caleg saja, dia sudah habis-habisan. Saat Pileg dimulai, dia tetap keluar uang lebih banyak lagi, karena berpikir bisa membeli suara.
Dia harus membayar tim sukses, membayar spanduk, baliho, iklan di berbagai platform dan lainnya. Belum lagi iming-iming harus mengondisikan saksi dan setor lagi ke partai. Kalau tidak, dia ditakut-takuti tidak akan lolos. Karena suaranya bisa-bisa bocor di TPS sampai tingkat PPK. Dia pun terpaksa habis-habisan, sampai menjual beberapa aset yang sebenarnya disiapkan untuk masa depan.
Hasilnya ternyata tak seindah yang diharapkan. Sang caleg dingin sedingin-dinginnya. Kepalanya sakit. Pikirannya melayang kemana-mana. Duit ratusan juta yang dikumpulkannya puluhan tahun raib. Asetnya juga hilang begitu saja. Namun, suaranya entah dimana-mana. Dia tak duduk di kursi DPRD, malah “terduduk” di rumahnya yang masih untung belum dijual atau digadai. Masih untung lagi, dia belum gila. Belum “bakabek” kepala.
Dua cerita itu nyata adanya, orangnya masih hidup. Ada di sekitar kita. Satu menjadi wakil rakyat, satu lagi hidup melarat dan harus kembali berjuang dari nol. Kini, tahun 2024 telah menyongsong. Yang wakil rakyat disebut incumbent, yang pernah gagal 2019 bilang menunggu angin. Kalau rasa-rasa ada peluang, dia akan maju lagi. Tapi tak mau lagi jor-joran. Minimal memastikan, dia masih hidup meski tak lolos ke DPRD.
Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar pernah mengatakan, jarang anak muda yang mau maju ke DPR atau DPRD. Karena peluangnya yang sangat tipis, karena calonnya banyak. Bahkan, ada yang bilang gila karena peluang jadi anggota DPR/DPRD itu tipis sekali. Tetapi kalau sudah terpilih memang puas.
Yang dimaksud Muhaimin puas ini menarik. Mungkin karena gajinya yang besar, kekuasaan yang besar, sampai peluang keliling Indonesia sampai dunia pun terbuka lebar. Kunker alias kunjungan kerja namanya. Meski, banyak wakil rakyat yang malah “taniayo” saat duduk. Karena gaji habis untuk bayar utang saat maju. Atau gaji diagunkan ke bank untuk pinjaman tunai guna membeli kendaraan mewah atau rumah.
Yang pasti, jelang 2024 ini, untuk para bakal Caleg agar berpikir kembali. Apakah sudah ada bekal untuk menjadi anggota dewan. Bukan sekadar kata atau banyak harta, tapi juga harus memikirkan banyak hal lain. Seperti garis keturunan, organisasi, dukungan tokoh, dukungan organisasi, dukungan loyalis dan lainnya.
Kalau diri sendiri belum yakin, jangan terlalu dipaksakan. Karena menjadi anggota dewan itu bukan sekadar punya jabatan. Banyak tanggung jawabnya. Kalau hanya mencari uang saja, sebaiknya tidak. Kalau hanya ikut-ikutan saja, janganlah. Jangan sampai seperti anggota DPRD Provinsi Jambi 2014-2019, sekarang masuk penjara semua. Kasusnya terima suap. Dulu di Sumbar, dikenal dengan korupsi berjamaah, baik DPRD Padang atau DPRD Sumbar.
Berdasarkan UUD 1945, DPR memiliki 3 fungsi, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi berarti DPR mewakili isi hati rakyat. Fungsi pengawasan diejawantahkan DPR dengan memantau pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang berkaitan dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Namun dalam prosesnya, DPR juga harus mendukung pemerintah dalam mengimplementasikannya. DPR juga berperan dalam menganggarkan kebijakan-kebijakan untuk isu iklim dan berkelanjutan. Penganggaran dilakukan sesuai kebutuhan.
Franklin Delano Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32 dan menjadi satu-satunya Presiden Amerika Serikat yang terpilih empat kali pernah menyebut “Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu.” Jadi, kepada para calon anggota dewan, mari persiapkan diri lebih baik. Jangan pernah hanya coba-coba dan tidak tahu mau apa, andai terpilih nanti. Tak tahu apa yang akan dikerjakan saat terpilih, lebih buruk dari tidak terpilih itu sendiri. (Wartawan Utama)