Isu Politik Dinasti, Hanya Sebatas Rivalitas pada Proses Pencalonan

SIJUNJUNG, METRO
Isu politik dinasti di Kabupaten Sijunjung sempat merebak dan menjadi pembicaraan ditengah masyarakat dalam beberapa waktu terakhir. Isu itupun mulai mengapung, terkait pencalonan Benny Dwifa Yuswir untuk maju sebagai calon bupati pada Pilkada Sijunjung, karena merupakan anak dari Yuswir Arifin, yang kini menjabat sebagai Bupati Sijunjung.

Namun, apakah benar adanya politik dinasti?. Seperti apa, dan melanggar konstitusi kah?. Berikut penjelasan Dosen Ilmu Politik Univeristas Andalas,  Dr.Asrineldi, M.Si. tentang hal tersebut.

“Melihat dari konteks konstitusi tidak melanggar undang-undang karena memang aturannya gak ada. Apalagi dalam hak politik yang dijamin oleh UU itu, berhak memilih dan untuk dipilih. Hanya saja persoalan cara pada saat proses pencalonan itu sendiri, yang dikhawatirkan adanya pemanfaatan kekuasaan, walaupun itu tidak dilakukan tapi kecurigaan akan muncul duluan,” tutur Dr.Asrinaldi saat dihubungi.

Dosen Politik Unand itupun mencontohkan situasi politik di Kabupaten Sijunjung saat ini. “Seperti di Sijunjung. Secara undang-undang, Benny itu tidak melanggar, malahan sebagai PNS mundur dia untuk mematuhi aturan itu. Tidak ada dinasti politik, karena negara kita negara hukum. Kalaupun itu dinasti politik, apakah dilarang?,” katanya.

Dijelaskannya, dulu dinasti politik dan politik dinasti sempat dilarang di Indonesia. Syarat pada calon tidak boleh memiliki konflik kepentingan, antara lain, tidak memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan, dan itu diatur dalam Undang-undang.

“Sekarang pada UU nomor 10 tahun 2016 tidak ada lagi dibunyikan larangan itu. Artinya dalam UUD 1945, setiap warga negara memiliki hak untuk itu (memilih dan dipilih). Istilah dinasti politik itu hanya ada di kerajaan, di monarki. Kan dikait-kaitkan kesana. Ada monarki absolut dan monarki konstitusi yang pemerintahannya digilir,” ujarnya.

Indonesia merupakan negara demokrasi, dan memiliki hukum yang mengaturnya. Sehingga politik dinasti hanyalah sebuah isu yang dikait-kaitkan pada sistim pemerintahan monarki. “Dikaitkan saja kesana,” sebut Dosen Ilmu Politik Unand itu.

Meski demikian, pengamat politik menilai akan ada plus dan minus dari istilah ‘dinasti politik’ yang muncul. “Terutama pada orangnya, dianggap bahwa legitimasi yang ada, diciptakan secara politik oleh hubungan kekerabatan tadi. Kecurigaan orang akan muncul disana, akan adanya pemanfaatan tadi, karena norma dan secara etika,” katanya.

Plusnya, jika itu dilaksanakan dengan baik tentu ada proses kaderisasi disana. “Karena orang tuanya politik dan anaknya juga diajarkan politik dari awal, bukan tiba-tiba saja, itu bagus juga. Karena selama ini kader politik kita banyak yang instan, politik praktis,” tuturnya.

Sedangkan istilah politik dinasti disorot hanya sebatas rivalitas menjelang terpilih nanti, atau hanya pada proses pencalonan saja. Berbeda hal dengan dampak terhadap pembangunan daerah jika terpilih nanti. “Itu berbeda hal lagi. Jika memang seorang calon itu visioner dan secara individu bagus, maka akan bagus juga dampaknya disaat ia menjabat nanti, pun sebaliknya. Namun, persoalan dinasti politik itu, dikhawatirkan dia itu menguasai seluruh proses yang dilakukan pada masa pencalonan. Hanya pada proses pencalonan saja,” ungkapnya.

Dr.Asrinaldi mengatakan bahwa, banyak contoh yang ada dan sudah terjadi saat ini. “Isu-isu seperti itu sudah banyak terjadi. Orang mengkaitkannya kesana (dinasti politik) padahal mereka juga berhak, dan dijamin undang-undang untuk itu. Tidak ada yang dilanggar, hanya saja normanya. Karena yang dikhawatirkan orang adanya pemanfaatan kekuasaan untuk itu,” paparnya.

Sebagai pengamat, pihaknya menyarankan agar proses rekrutmen calon kepala daerah menjadi perhatian serius oleh partai politik. “Harusnya proses rekrutmen menjadi perhatian betul oleh partai politik. Kenapa tidak dilakukan uji publik secara terbuka, begitu. Ukuran benar atau salah itu undang-undang, ukuran baik dan buruk itu norma,” terangnya.

Pihaknya berharap agar pendidikan dan sosialisasi politik ditengah masyarakat bisa dilakukan dengan baik oleh partai politik dan politisi itu sendiri. “Politik itu aktifitas yang dilakukan individu untuk kepentingan orang banyak. Politik memang sebuah kontestasi untuk memperoleh kekuasaan namun, kekuasaan itu untuk kepentingan orang banyak, bukan kelompok, pribadi atau pihak tertentu,” sambungnya.

“Substansi politik itu positif. Cara memimpin, cara mengorganisasikan pemerintahan dan negara. Bukan pada konteks manipulatif, koruptif atau saling menyingkirkan, itu aksesnya. Nah, akses itu yang banyak diambil oleh politisi untuk tartibnya, bukan ilmunya, bukan subtansinya. Pada prakteknya itu, karena mereka ingin cepat, untung dan praktis sehingga norma dan aturan yang ada dilanggar untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Itu masalahnya,” pungkasnya. (ndo)

Exit mobile version