Oleh: Reviandi
MESKI disebut sekarang era digital, namun tak begitu-begitu benar terasa jelang Pilkada serentak ini. Para kandidat tetap harus turun menyapa masyarakat, tak bisa sekadar senyum lewat media sosial saja. Tak ayal, selama sepekan terakhir, media cetak, online dan medsos itu sendiri penuh sesak dengan para calon berfoto bersama masyarakat.
Setidaknya, tiga orang kandidat yang selalu berpacu dalam survei-survei Pilgub Sumbar, tak ada lagi yang diam. Yang dari Padang kian giat wara-wiri ke Kabupaten/Kota lain. Yang dari Sumbar lebih masif turun ke daerah-daerah nonbasis. Pun begitu yang di pusat, harus rajin pulang ke Sumbar, dan menyisiri lokasi-lokasi yang dirasakan dukungan masih lemah padanya.
Nah, tiga orang itu tentu sudah familiar di mata, telinga dan juga referensi dan bacaan kita semua. Mereka adalah Wali Kota Padang Mahyeldi, yang Jumat (14/2) kemarin dengan semangatnya keliling Lubuksikaping, Kabupaten Pasaman. Meski ada yang menyebut namanya sudah “moncer” di sana, tapi Buya – sapannya tetap menyalami warga di sana. Untuk kampanye? Tentu tidak, belum masanya, biasanya menjadi khatib Jumat.
Memang, akhir-akhir ini Mahyeldi yang Sarjana Pertanian (SP) dan lebih dikenal sebagai ustaz itu, kerap menjadi khatib di masjid-masjid besar di Kabupaten/Kota di Sumbar. Setelahnya, langsung bersilaturahmi dengan masyarakat setempat, terutama di lokasi-lokasi seperti pesantren, dan yang identik dengan keagamaan. “Ceruk” ini masih akan terus dimasifkan sepertinya untuk terus mendongkrak popularitasnya.
Sang rival Mahyeldi di PKS, Wali Kota Payakumbuh, Riza Falepi juga seperti itu. Dia bahkan telah sampai ke Sijunjung dan Dharmasraya dalam sejumlah kesempatan. Namun, sampai kemarin, Ketua DPW PKS Sumbar Irsyad Syafar menyebut, partainya masih memiliki dua kandidat. Masih menunggu keputusan resmi dari DPP PKS di Jakarta.
Jagoan satu-satunya dari Demokrat, Mulyadi yang kini duduk di Komisi III/Hukum DPR RI juga demikian. Jika selama ini hanya baliho, spanduk dan foto-fotonya saja yang sampai ke gang-gang sempit di nagari-nagari, kini dia benar yang turun. Bahkan, berkali-kali Mulyadi menghadiri pertemuan di Kota Padang – daerah yang dapat diyakini sebagai basis Mahyeldi.
Tak hanya itu, Mulyadi setidaknya juga sudah dua kali turun sampai ke Pesisir Selatan (Pessel). Daerah yang bisa saja disebutkan “dimiliki” oleh satu-satunya bakal calon Gubernur Sumbar asal pasisie, Nasrul Abit dari Gerindra. Waktu di Komisi VII dulu, Mulyadi juga beberapa kali ke Pessel. Termasuk untuk menyosialisasikan konversi bahan bakar untuk nelayan dari BBM ke gas elpiji.
Lalu bagaimana dengan Nasrul Abit, apakah hanya “mangamek” saja di Kota Padang sebagai Wakil Gubernur? Ternyata tidak. NA – nama akrabnya, malah berkali-kali terlihat ke Kabupaten Agam, daerah basis Mulyadi, Mahyeldi, atau Bupati Agam Indra Catri. Pernah, NA tertangkap kamera sedang melihat indahnya bunga Rafflesia Arnoldi mekar di Maninjau, Kecamatan Tanjungraya, Agam.
NA juga masih setia datang ke Pessel, Kabupaten yang pernah dipimpinnya selama 10 tahun (2005-2015). Saat terakhir datang adalah pekan lalu, turut serta membantu Basarnas, BPBD dan lainnya mencari 11 nelayan hilang di Air Haji. Cukup lama NA di sana, bahkan bercengkrama dengan para relawan dan petugas pencari. NA seperti telah memiliki style sendiri, karena dia memang sering naik kapal, kadang sampai ke Mentawai.
Kini, para netizen mulai sering “melaporkan” di beranda/timeline/status/unggahan mereka tentang kegiatan para kandidat ini. Misal, shalat Jumat di masjid ini khatibnya Wali Kota Padang. Ditulis oleh orang Solok atau Tanahdatar. Bisa juga, bertemu dan berfoto bersama anggota DPR RI Mulyadi di Padang Timur, Kota Padang. Atau, ucapan terima kasih kepada Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit yang berkunjung dan memberikan bantuan di Padangpariaman.
Terlepas dari niat mereka turun ke lapangan, harusnya ini membuktikan, kalau dunia ini tidak hanya selebar layar HP kita saja. Masih ada jabat tangan yang diinginkan oleh rakyat dari calon-calon pemimpin mereka. Karena, masyarakat Sumbar tidaklah mempan dihargai dengan amplop, sembako dan sejenisnya, tapi sang calon tak terlihat batang hidungnya. Cukuplah itu terjadi di tempat-tempat lain.
Pertemuan, keramah-tamahan, dialog, bahkan sekadar berfoto bersama masih menjadi alat utama untuk menyentuh hati mereka – calon pemilih. Karena, banyaknya baliho, spanduk, sampai gambar grafis di media sosial, tanpa melihat orangnya, tak akan pernah efektif. Buah pikir itu harus sampai langsung ke tengah-tengah masyarakat. Agar mereka tahu, sejauh mana kualitas dari calon-calon itu. Bukan malah kaku, gagu dan bingung saat bersama rakyat. Apalagi berjuang berpikir dan menyelesaikan masalah-masalah rakyat. (wartawan utama)