Oleh: Reviandi
SETIAP masa kontestasi pemilihan berlangsung, klaim dukungan pasti ada. Bahkan satu orang atau organisasi bisa mendukung orang yang berbeda, bisa berkali-kali. Ada yang menjadikan ini “ladang” untuk mencari cuan. Tapi tak sedikit menjadikan ajang ini adalah arena pertempuran.
Seperti organisasi majelis taklim yang selalu menjadi rebutan para kandidat di saat Pileg, Pilkada sampai Pilpres. Begitu banyak yang mengaku dekat dengan organisasi ibu-ibu pengajian ini. Sampai-sampai ada yang menyatakan sudah memastikan dukungan dan akan mendapatkan suara yang melimpah.
Sayang, tak semuanya bisa seindah dan semudah itu. Majelis taklim ini sungguh banyak. Dari tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kota/Kabupaten sampai Provinsi. Jadi, majelis taklim yang mana yang mendukung siapa tak jelas. Karena semua bisa mendapatkan dukungan dan bisa pula tidak didukung.
Terakhir ada heboh-heboh soal dukungan majelis taklim kepada salah satu pasangan Capres-Cawapres. Bahkan menyebut sebelumnya pernah mendukung pasangan lain. Tapi karena satu dan lain hal mereka hijrah. Dukungan itu langsung diberikan di Sekretariat Daerah Capres tersebut. Acaranya meriah, ramai dan begitu bersemangat.
Besoknya, ada yang membantah dukungan itu. Dan menyatakan tak pernah ada majelis taklim se-Sumbar mendukung siapapun. Karena bersifat netral dari politik. Tapi ada sedikit miskomunikasi, karena yang mendukung itu bukan mewakili majelis taklim se-Sumbar. Tapi salah satu organisasi majelis taklim yang memakai nama Sumbar saja.
Heboh klaim ini dibantah, kembali dibantah oleh yang deklarasi. Karena dia mengaku serius deklarasi atas mama organisasi majelis taklimnya saja. Bukan mewakili se-Sumbar. Bahkan juga terkerasnya ada yang mengintimidasi mereka dan membuatkan video klarifikasi. Heboh, heboh dan heboh.
Terlepas dari kemana dukungan majelis taklim, sejatinya lembaga ini tak perlu ditarik-tarik ke politik. Karena negara juga pernah mengatur tentang mengharuskan majelis taklim terdaftar di Kementerian Agama. Meski begitu, tak ada sanksi bagi majelis taklim yang tak mendaftarkan ke Kemenag. Majelis taklim harusnya fokus kepada kajian Islam dan kekeluargaan saja.
Majelis taklim adalah kumpulan yang mengandung proses kegiatan belajar-mengajar jemaah agama Islam. Majelis taklim sudah ada sejak zaman penyebaran agama Islam era Wali Songo. Pasal 26, Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan majelis taklim sebagai satuan pendidikan nonformal, bersama lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajr, dan pusat kegiatan belajar masyarakat.
Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim, diundangkan sejak 13 November 2019. Pada Pasal 6
(1) Majelis Taklim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus terdaftar pada kantor Kementerian Agama. Tapi aturan itu tak begitu terlihat seiring bergantinya Menteri Agama dari Fakhrul Razi kepada Yaqut Cholil Qoumas.
Kementerian Agama juga cukup sering mewanti-wanti penyuluh menyampaikan majelis taklim harus netral. Meminta penyuluh agama harus gencar menanamkan semangat moderasi beragama, tapi tak ditarik ke politik. Jangan malah jadi provokator. Bagi ASN Kemenag penyuluh yang jadi provokator serta memecah belah umat, bakal dijatuhi sanksi displin sesuai dengan ketentuan kepegawaian.
Di tengah masa kampanye ini, majelis taklim memang tak boleh berpolitik. Tapi juga tak ada sanksinya. Makanya, deklarasi-deklarasi itu begitu mudah terlihat. Tapi keberpihakan majelis taklim juga tidak akan berdampak besar kepadan perubahan peta politik. Karena hampir semua peserta Pemilu/Pilpres akan menyasar mereka sebagai lahan mendapatkan suara maksimal.
Jadi, jangan pula terlalu takut dengan deklarasi-deklarasi itu. Belum tahu juga ada dampak dan manfaatnya. Yang penting, para peserta kampanye percaya diri bisa mendaparkan hasil suara maksimal. Mendapatkan jabatan atau kursi yang diincar. Karena majelis taklim hari ini bisa di sini, besok ke sana. Tak ada yang bisa menggaransi juga pilihan politik mereka.
Entah sudah berapa banyak Caleg atau acak ada yang di-PHP oleh majelis taklim yang dianggapnya lumbung suara. Ternyata hanya menjadi organisasi yang menyedot anggaran besar. Tapi pada hari H tak memberikan dampak apa-apa. Majelis taklim tetap jalan, sementara politisi yang tadinya yakin malah karam. Tak mendapat efek elektorat apa-apa. Karena banyak kepala di dalam majelis taklim. Tak begitu saja dikendalikan.
Apapun alasan majelis taklim itu, ingat saja pesan Presiden Abdurrahman “Gusdur” Wahid, “Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikannya.” Apakah majelis taklim ini landasannya untuk memperbaiki ilmu agama para wanita atau tidak, jangan sampai terjebak politik praktis. Karena niat awal majelis taklim adalah membina keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. (Wartawan Utama)