Penandatangan kerja sama antara Pemerintah Provinsi Sumbar dengan IPB merupakan sebuah tonggak besar. Kerja sama ini disepakati pada 13April 2021 lalu di Kampus IPB, Bogor. Kerja sama ini dapat menguatkan komitmen untuk membangun agrikultur – kata yang lebih bermakna daripada pertanian— sebagai pusat keunggulan Sumbar.
Kerja sama dengan kampus agrikultur terbaik di Asia Tenggara ini, dalam bahasa Inggris IPB diterjemahkan menjadi Bogor Agricultural University, memiliki sejumlah makna strategis. Pertama, Tidak hanya karena latar Gubernur dan wakil gubernur yang keduanya dari sarjana pertanian.
Lebih dari itu, didasarkan atas kenyataan bahwa perekonomian Sumbar sebesar 22,38 persen dibentuk oleh sektor pertanian dalam arti luas meliputi lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan. Sektor pertanian juga penyerap tenaga kerja terbesar mencapai mencapai 36,22 persen. Bahkan jumlah rumah tangga pertanian mencapai 693.023 rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangganya 2.751.688 jiwa. Angka ini bermakna bahwa 50,84 persen penduduk menggantungkan penghidupannya dari usaha pertanian.
Ironinya, rumah tangga pertanian merupakan penciri utama kemiskinan di Sumbar. Lebih dari separuh atau tepatnya 54,42 persen dari rumah tangga miskin merupakan rumah tangga yang sumber penghasilan utamanya dari sektor pertanian. Hanya 3,39 persen dari sektor industri, dan sisanya dari sektor ekonomi lainnya, termasuk perdagangan dan jasa.
Tingkat kemiskinan Sumbar sebesar 6,56 pada Sepetember 2020. Jika disigi secara kewilayahan, tingkat kemiskinan pedesaan yang identik dengan kegiatan pertanian, angkanya lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan perkotaan, yaitu 7,83 berbanding 5,22 persen. Kemiskinan di pedesaan pun lebih dalam jurangnya dan lebih parah daripada perkotaan.
Sejatinya, ada misi suci sekaligus tanggung jawab moral dari kerja sama keduanya dalam rangka menyejahterakan petani.
Kedua, inisiatif Pemprov Sumbar bekerja sama dengan IPB adalah upaya untuk menghargai perguruan tinggi, ilmu pengetahuan, riset dan segala entitas yang melekat padanya. Jemput bola ini semoga diikhtiarkan untuk mendasarkan kebijakan pembangunan agrikultur berbasiskan pengetahuan dan bukti riset. Mencerminkan upaya penguatan relasi antara pemerintah-perguruan tinggi-masyarakat bahkan juga pelaku bisnis pertanian melalui diseminasi pemanfaatan hasil-hasil riset untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha dan hasil pertanian.
Kerja sama ini juga dapat ditujukan untuk membantu mengatasi persoalan agrikultur melalui riset. Tidak hanya terbatas pengembangan bibit atau benih unggul, termasuk pengembangan wilayah pertanian, pengendalian hama, pencemaran Danau Maninjau dan Singkarak dan sebagainya. Singkatnya, memetakan berbagai permasalahan strategis dan pemprioritasan dalam penanganannya melalui riset (kebijakan berbasis bukti).
Juga dapat dimaknai pula sebagai pengenalan inovasi dan teknologi dalam sektor pertanian secara umum, dan bagi petani secara khusus. Terlebih IPB dengan mottonya, inspiring innovation with integrity (menginspirasi inovasi dengan integritas).
Salah satu perdebatan penting dalam ranah ekonomi politik pertanian adalah keberterimaan petani kecil dan gurem (subsisten) terhadap inovasi dan teknologi baru. Petani cenderung menolak inovasi karena perhitungan rasional atas risiko, yaitu jika gagal akan kelaparan dan dililit utang. Keenganaan berinovasi ini pula yang menjadikan petani kecil tetap miskin. Ragam kekayaan teknologi sederhana dan tepat guna serta hasil pengujian sebelumnya yang diperkenalkan IPB diharapkan dapat mengatasi resistensi petani atas inovasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Ketiga, meski belum persis tahu bunyi kerjasamanya, saya yakin sekaligus berharap bahwa kerjasama ini juga termasuk menjadikan IPB sebagai salahsatu kampus tujuan beasiswa bagi putra-putri terbaik Sumbar. Diantara janji kampanye duo pemimpin Sumatera Barat ini yaitu memberikan 100 ribu beasiswa bagi putera-puteri terbaik Sumbar untuk kuliah di perguruan tinggi terkemuka. Program ini sekaligus untuk membangun keunggulan agrikultur dengan menyiapkan sarjana-sarjana unggul.
Sependek pengetahuan saya, IPB memiliki program Beasiswa Unggulan Daerah (BUD). Jumlah dengan kuota tertentu dari daerah dapat kuliah di IPB dengan ujian diantara putera-putera terbaik di daerah tersebut, dibandingkan bersaing secara nasional. Untuk itulah, Pemerintah provinsi bersama dengan pemerintah daerah dapat menentukan program studi yang diberi beasiswa sesuai kebutuhan daerah.
Beasiswa juga dapat berasal dari BUMN seperti PTPN 6 misalnya, maupun BUMDlainnya di Sumatera Barat. Pemberian beasiswa ini dapat mempertimbangkan adanya ikatan dinas atau ikatan kerja. Kebijakan ini dapat mencegah ‘pengurasan intelektual’ (brain drain) karena sarjana unggul asal Sumatera Barat justru tidak kembali ke Sumatera Barat membangun daerahnya karena terbatasnya lapangan pekerjaan yang sesuai.
Keempat, regenerasi petani dan revitalisasi SMK. Penghidupan dari pertanian yang dicirikan oleh kemiskinan dapat menguatkan imaji inferioritas sektor pertanian sehingga menimbulkan keenganan bagi remaja dan generasi muda saat ini bekerja di sektor pertanian atau menjadi petani milenial. Padahal diantara tantangan global masa depan adalah krisis pangan.
Regenerasi petani dengan menyiapkan sumberdaya manusia yang unggul melalui revitalisasi sekolah kejuruan, khusunya SMK pertanian dapat menjadi kebijakan amat strategis. Revitalisasi SMK pertanian ini membutuhkan pembacaan terhadap kebutuhan tenaga kerja sektor pertanian dan adopsi perkembangan teknologi, termasuk bagi penyiapan kebutuhan pengembangan agrobisnis dan agroindustri.
Dalam hal ini IPB bersama dengan fakultas pertanian maupun politeknik pertanian di Sumatera Barat bergandengtangan dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) dapat memetakan kebutuhan revitalisasi SMK pertanian dan kebutuhan tenaga kerja sektor pertanian yang terhubung dan sesuai.
Bagi penulis, kerja sama ini diharapkan menjadi tantangan untuk menghasilkan arus balik. Arus utama pemikiran pembangunan dan konsepsi umum bahwa negara atau daerah yang maju adalah berbasis industri dan jasa. Kedua sektor memiliki produktivitas dan nilai tambah yang jauh lebih tinggi daripada pertanian. Satu hal yang terlupakan, bahwa proses industrialisasi tanpa pijakan atas keberlimpahan sumberdaya yang dimiliki hanya menciptakan perubahan struktural yang rapuh. Sederhananya, lompatan pembangunan atau industrialisasi dengan pijakan rapuh karena sumberdaya, bahan baku dan teknologinya diimpor.
Dengan penduduk Sumbar yang mayoritas petani, petani yang miskin, maka komitmen membangun keunggulan agrikultur Sumatera Barat adalah keberpihakan dan pembangunan yang berakar dari jati dirinya sendiri sebagai propinsi agraris. Dengan kekokohan sektor pertanian yang kelak terbentuk, selanjutnya dapat diiringi dan meloncat menjadi propinsi industri, propinsi perdagangan, dan propinsi jasa dengan tidak melupakan akar dan jati diri pembangunanya. Dari pondasi pertanian yang kuat, selanjutnya dapat dibangun agroindustri, agrobisnis, dan agroteknologi. Wallahu a’alam bisshawwab. (Dosen Ilmu Ekonomi FE UNP dan Mahasiswa Doktor Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB)