Keramba Dibatasi, Petani Danau Maninjau Terancam Kehilangan Mata Pencaharian

KERAMBA JALA APUNG— Keramba jala apung yang menjadi sumber utama penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga masyarakat di sekitaran Danau Maninjau.

AGAM, METRO–Pengurangan jumlah keramba jala apung (KJA) di Danau Maninjau menjadi sorotan utama petani setempat. Mereka yang selama ini menggantungkan hidup pada keramba merasa keputusan ini se­olah-olah “membunuh me­reka secara perlahan”.

St. Syarih, salah satu tokoh masyarakat Sungai Tampang, menyatakan ke­kecewaannya terhadap kebijakan tersebut. “Kalau ini dilakukan mendadak tanpa solusi yang pasti, bagaimana kami harus bertahan? Ini sangat me­nyedihkan,” ujarnya, Rabu (18/12).

Syarih menjelaskan bah­wa kehidupan sehari-hari para petani sangat bergantung pada hasil keramba. Tanpa itu, mereka kehilangan sumber utama penghasilan untuk meme­nuhi kebutuhan keluarga, seperti makanan dan biaya pendidikan anak-anak.

“Saat ini, kebijakan ini justru terasa bertolak belakang dengan program Presiden Prabowo yang menekankan ketahanan pangan. Jika pengurangan keramba ini diterapkan, kami khawa­tir akan memperlemah eko­­nomi ma­syarakat lo­kal,” tambahnya.

Syarih menegaskan pen­tingnya kehadiran pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah ini. “Jangan biarkan kondisi ini berlarut-larut. Kami mohon, hadirkan kebijakan yang tidak hanya berpihak pada pemerintah, tetapi juga memperhatikan nasib petani kecil seperti kami,” pintanya.

Ia mengingatkan agar pemerintah memberikan solusi yang adil, tanpa mengorbankan ekonomi masyarakat kecil. “Kami tidak menolak kebijakan, tetapi kami ingin ada jalan keluar yang saling menguntungkan. Jangan sampai kami merasa diabaikan,” tegasnya.

Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Agam, Rosva Deswira, menyatakan bahwa pengurangan KJA memang menjadi bagian dari program pemerintah, namun pelaksanaannya harus mempertimbangkan kondisi di lapangan.

“Kami meminta ekse­kutor memprioritaskan pengurangan pada keramba besar yang dimiliki pengusaha dengan jumlah lebih dari 50 petak,” jelasnya.

Selain itu, Rosva menyarankan penghapusan keramba yang tidak lagi produktif, seperti yang kosong atau rusak. Meski demikian, ia mengakui ada­nya keluhan dari masya­rakat yang terdampak langsung oleh kebijakan ini.

“Dari hasil investigasi, sekitar 30 persen keramba milik petani memang kosong. Namun, 70 persen lainnya masih digunakan, meski hasilnya minim karena ekonomi mereka tidak stabil untuk membeli pakan ikan,” ungkapnya.

Rosva menambahkan bahwa petani kecil se­ringkali mengandalkan ekosistem alami dan bahan makanan seadanya dari danau untuk menghidupi keramba mereka.

“Kami memahami situasi ini. Oleh karena itu, perlu dicari solusi bersama agar program pemerintah tetap berjalan tanpa merugikan masyarakat yang bergantung pada keramba ini,” tutupnya. (pry)

Exit mobile version