Tradisi Olek Balai di Nagari Pulasan Tanjung Gadang, Menyembelih Kerbau, Setelah Dipatut Sesuai Adat

Kabupaten Sijunjung – “Olek Balai digelar agar masyarakat Nagari Pulasan agar terhindar dari penyakit, tanaman menjadi dan ternak berkembang,” tutur A. Datuak Nan Gadang, Penghulu Pucuk Nagari Pulasan.
Masyarakat Nagari Pulasan akan bersuka ria di saat menyambut perayaan Olek Balai tiba. Setiap elemen masyarakat bersama tokoh adat bahu membahu mengawali pelaksanaan kegiatan Olek Balai dengan sejumlah prosesi adat.
Menurut A Datuak Rajo Nan Gadang, Olek Balai merupakan tradisi tolak bala Nagari Pulasan yang dilaksanakan sekali setahun, selepas hari raya Idul Fitri. Pada dasarnya kegiatan ini mengarah lebih kepada memupuk jiwa bergotong royong serta, mempererat silaturahmi antar sesama masyarakat. Sehingga tidak ada dendam maupun perselisihan yang menahun terpendam ditengah masyarakat.
Kabupaten Sijunjung merupakan salah satu daerah di Sumbar yang masih menjaga dengan baik akan nilai dan tatanan adat sebagai jati diri masyarakat Minangkabau. Hingga kini, kegiatan yang berbau budaya masih banyak dijumpai di tengah kehidupan masyarakat di Ranah Lansek Manih di antaranya, Olek Balai. Tradisi inipun menggabungkan dua nilai yang menjadi terapan di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yaitu, antara adat dan agama.
Sebelum agama Islam dianut oleh masyarakat Minangkabau. Ranah Minang sudah memiliki tatanan adat dan budaya yang menjadi acuan nilai dalam kehidupan, yang menjadikan alam sebagai pedoman, seperti filosofi “Alam takambang jadi guru”. Masuknya agama Islam memberikan kesempurnaan pedoman di tengah masyarkat.
Bahkan itu diabadikan dalam sebuah filosofi “Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” (ABS-SBK).
Artinya, tatanan adat di Minangkabau bersandar kepada Syariat (agama Islam), sedangkan syariat mengacu kepada Al Quran dan Hadits. Adat dan kebudayaan masyarakat Minangkabau merupakan sebuah cara maupun proses yang pada dasarnya untuk mencari keridhaan Allah SWT. “Syarak mangato adaik mamakai”.
Adapun prosesi Olek Balai ini dimulai semenjak dua atau tiga hari setelah Hari Raya Idul Fitri, artinya masih di bulan Syawal. Pada saat itu para tokoh adat mulai dari Panghulu, Monti, Malin dan Dubalang (ninik mamak-ninik mamak pemangku adat di Minangkabau) akan berkumpul dan menggelar khutbah adat.
Kemudian lima belas hari setelah itu, datuak nan sapuluah memberi perintah kepada monti nan sapuluah untuk mencari kerbau. Di Nagari Pulasan terdapat empat puluh ninik mamak, atau tokoh adat yang ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah. Para tokoh tersebut memiliki peran dan fungsi masing-masing ditengah masyatakat.
Pada puncak pelaksanaan Olek Balai, masyarakat akan melakukan prosesi penyembelihan kerbau. Yang mana daging kerbau akan dimasak secara bersama nantinya, kemudian dihidangkan saat makan bajamba (hidangan khas budaya Minangkabau).
Kerbau yang akan disembelih harus yang dipatutkan adat (sesuai kriteria adat) yakni kerbau jantan berpusar-pusar cukup atau memiliki pusar-pusar empat atau yang berjumlah genap. “Tidak boleh ganjil, sebab bisa menimbulkan pertengkaran dalam masyarakat,” sebutnya.
Begitu pula tanduk kerbau harus tegak, dan memiliki ekor panjang berbulu. Semua kriteria yang telah ditetapkan itu memiliki makna filosofis yang menjadi nilai oleh masyarakat setempat.
“Kalau kerbau tidak sesuai yang dipatutkan adat, bisa menimbulkan bala. Harus dicari sampai dapat. Tak ada di Pulasan, dicari ke luar. Berapa pun harganya dibayar. Tak ada tawar menawar,” tutur A Datuak Rajo Nan Gadang.
Setelah kerbau yang dicari sudah didapatkan, tokoh masyarakat akan melakukan musyawarah di masjid, membahas persoalan dan persiapan untuk pelaksanaan Olek Balai.
Sepuluh hari jelang puncak Olek Balai, kerbau akan digembalakan oleh monti nan sapuluah. Sehari sebelum kerbau itu disembelih, diserahkan kepada dubalang nan sapuluah, dijaga siang dan malam, tak boleh hilang.
“Harga kerbau untuk Olek Balai kali ini adalah Rp27 juta. Itu sumbangan dari masing-masing suku dan masyarakat nagari. Untuk biaya melangsungkan Olek Balai setiap kepala keluarga menyumbang dua liter beras. Saat ini jumlah KK 1.250 di nagari Pulasan,” jelasnya.
Puncak acara Olek Balai jatuh pada hari Kamis (27/6). Kerbau yang telah disiapkan akan disembelih pada dini harinya, sebelum matahari terbit. Daging kerbau dimasak secara bersama, kemudian dihidangkan pada waktu makan siang. Tepatnya usai melaksanakan shalat Zuhur, bertempat di halaman kantor Walinagari Pulasan.
Setiap suku yang ada akan membawa jamba untuk dihidangkan. Peran ini dilakukan oleh para Bundo Kanduang atau kaum ibu. Mengantarkan jamba dilakukan secara berbondong-bondong. Kaum ibu dengan pakaian adat akan menjunjung jamba (makanan yang akan dihidangkan) menuju lokasi makan bersama.
Jamba boleh dimakan oleh siapa saja. Karena jamba dihidangkan memang untuk dimakan.
“Bahkan kalau tidak dimakan, orang yang membawa jamba akan merasa kecewa,” tutur Dramendra, salah seorang pemuda setempat.
Tak ayal, masyarakat pun berduyun-duyun datang kelokasi makan bajamba. Pada saat itu pula prosesi melemparkan ampiang (beras ketan yang ditumbuk) juga dilakukan.
Olek Balai adalah sebuah perhelatan besar masyarakat Pulasan yang dilaksanakan di pusat keramaian. Adanya acara ini juga memberikan berkah kepada pedagang untuk berjualan. Suasana Olek Balai kian meriah dengan diisi tampilan berbagai kesenian tradisional budaya Minang. (**)

Exit mobile version