Penulis: Taufiq Ikhsan Darlius, S.H (Peminat Hukum Politik dan Alumni FH Universitas Bung Hatta)
DEBAT pertama Calon Walikota dan Wakil Walikota Padang sudah selesai, Sabtu (26/10). Debat berlangsung cukup panas. Meskipun ada kecenderungan 2 pasangan calon (Fadly – Maigus dan Iqbal – Amasrul) menghajar pasangan Hendri Septa – Hidayat. Sudah biasa itu: dalam debat kontestasi Pilkada, petahana selalu jadi sasaran penantang.
Malam itu, Hendri memang kelihatan terjepit. Dijepit oleh tukang pidato dan tukang debat. Fadly Amran tukang pidato. Muhammad Iqbal tukang debat.
Sebagai tukang pidato, Fadly memang kelihatan sangat menguasai panggung. Kata-katanya tertata dengan retorika yang baik. Emosinya terkontrol. Selayang, kedengaran yang disampaikan Fadly betul semua.
Iqbal kelihatan sekali sudah terbiasa berdebat. Ada saja bahan yang disampaikannya. Semua pertanyaan yang ditujukan kepadanya, dijawabnya dengan lugas. Bahkan lengkap dengan serangan balik. Meskipun, yang keluar dari mulutnya tidak terlalu bermutu atau biasa-biasa saja.
Hendri terlihat kurang menguasai panggung. Kata-katanya tidak tersusun rapi. Cenderung susah mengendalikan emosi. Untung ada Hidayat yang memperkuat di sampingnya.
Tapi, secara substansial, Hendri menyampaikan banyak hal penting. Yaitu, apa-apa yang sudah dilakukannya semasa menjadi Walikota 2,5 tahun. Hendri hendak menyampaikan bahwa 2,5 tahun saja diberikan kesempatan memimpin Kota, dia sudah melakukan banyak hal. Misalnya, Hendri menyampaikan capaian pembukaan 6 koridor transportasi publik Trans Padang. Tapi, karena kemampuan berkomunikasinya belum tidak sebagus Fadly dan Iqbal, pesan-pesan yang disampaikannya mungkin tidak utuh sampai ke telinga penonton malam itu.
Soal cara berdebat Hendri Septa, anggota DPR-RI Andre Rosiade sudah menggambarkannya dengan sangat tepat dan baik. Kata Andre, kemampuan omon-omon Hendri memang agak kurang ketimbang Fadly dan Iqbal. Tapi, sebagaimana yang disampaikan Andre, syarat memimpin Kota yang paling penting itu rekam jejak, bukan kemampuan omon-omon.
Rekam jejak Hendri sangat jelas. Dia sudah berbuat cukup banyak selama 2,5 tahun terakhir. Beliau sudah menuntaskan janji pembangunan 504 ruang kelas baru, 14 taman tematik sudah dibuatnya, Hendri sudah membangunkan 6.503 rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, bangunan Fase VII Pasar Raya hampir tuntas, gedung pusat kreativitas Youth Centre juga sudah berdiri megah di Jalan Bagindo Azis Chan, kantor DPRD juga sudah rampung di Aie Pacah, dan banyak lagi capaian-capaian lainnya.
Apa jejak Fadly yang bisa direkam? Fadly gagal total di kota super kecil, Padang Panjang, yang pernah dipimpinnya. Dia tidak berbuat apa-apa di kota yang hanya berpenduduk 62.731 jiwa saja. Jumlah yang sangat tidak sebanding dengan Kota Padang yang hendak dipimpinnya: 919.145 jiwa. Bahkan dibanding Kecamatan Koto Tangah saja, Padang Panjang jauh lebih kecil. Kecamatan Koto Tangah berpenduduk 203.475 jiwa.
Iqbal bagaimana? Beliau sering membanggakan diri sebagai seorang rektor perguruan tinggi. Hasil lacakan, beliau memang seorang rektor. Rektor sebuah kampus kecil di Jalan Raya Jati Waringin 36 Cipinang Melayu Jakarta Timur. Nama perguruan tingginya SWINS atau Institut Bisnis dan Komunikasi Swadaya. Tidak diketahui berapa jumlah mahasiswa yang dikelola Iqbal di SWINS yang punya 3 program studi S.1: Akuntansi, Manajemen dan Ilmu Komunikasi. Di samping program studi S.2 Akuntansi dan Manajemen yang menurut pangkalan Dikti tidak terakreditasi.
Dari profil perguruan tinggi yang dipimpinnya, kelihatan Iqbal belum punya rekam jejak memimpin manusia dengan jumlah yang banyak dan wilayah yang luas.
Kabarnya sebelum menjabat Rektor SWINS, Iqbal adalah tenaga ahli (TA) salah seorang anggota DPR-RI dari fraksi PKS. Soal TA ini, saya pernah mendengar informasi dari seorang mantan anggota DPR-RI. Katanya, senyatanya TA itu jarang yang benar-benar ahli. Pada umumnya, TA adalah staf yang kerja utamanya adalah tukang bawa-bawa tas anggota DPR yang didampinginya.
Satu hal yang mungkin dapat diunggulkan dari Iqbal adalah kemampuannya mempertegang urat lehernya dalam setiap forum debat yang di masa Pilpres sering kita lihat di layar kaca.
Hendri memang terjepit diantara 2 orang “pintar”: yang satu “pintar” berpidato dan yang satu lagi “pintar” berdebat. Pilihan pada 27 Nopember nanti tentu bergantung kepada rakyat pemilih, apakah akan memilih calon Walikota yang bisa kerja atau Walikota yang sekadar piawai omon-omon: jago berpidato dan berdebat.(*)
Komentar