PADANG, METRO–Meski Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) pada triwulan III mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 4,30 persen secara year on year (yoy). Namun pertumbuhan ekonomi tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Bidang Ekonomi Digital Apindo, Ahmad Hafizd, saat kegiatan Diskusi Media bertajuk “Tantangan Investasi dan Pembangunan Ekonomi di Sumbar”, Selasa (19/12) di salah satu rumah makan di Kota Padang.
Hafizd mengatakan, yang dirasakan masyarakat saat ini justru penurunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena berkurangnya perputaran uang dan lapangan pekerjaan karena turunnya minat investor berinvestasi di Sumbar.
Hafizd menilai, selain suku bunga, ada sejumlah pertimbangan investor datang ke Sumbar. Yakni, pertimbangan tujuan keuangan, pengetahun riset suatu daerah, toleransi resiko di daerah tersebut dan masa investasinya.
Selama ini tidak banyak industri besar yang masuk ke Sumbar. Namun, investasi yang banyak masuk justru di sektor pariwisata. Industri di Sumbar sangat kecil. Ini dikarenakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumbar masih rendah.,” terangnya.
Hafizd juga mengungkapkan, saat ini ada tiga alasan orang datang ke Sumbar. Karena budaya, makanan dan alamnya. Namun, dari tiga hal tersebut banyak yang belum dieksplore. Tantangan lainnya, industri kreatif di daerah ini juga belum berkembang. Perda tentang Industri Kreatif juga belum berjalan. Kepedulian industri kreatif juga kurang.
Perwakilan Bidang Perencanaan Investasi Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Sumbar, Egi Juniardi mengatakan, investasi di Sumbar sejak tahun 2018 hingga 2023 mengalami fluktuasi. Penyebabnya tidak bisa dilihat secara pasti, karena butuh riset. Namun, tidak dipungkirinya investasi yang ada di tengah masyarakat, ada yang tercatat dan ada yang tidak tercatat.
Egi mengungkapkan, realisasi penanaman modal asing (PMA) sejak tahun 2021 sampai 2023 di Sumbar, yang paling tinggi terdapat di Kabupaten Pasaman dengan karakteristik investasi di sektor perkebunan. Diikuti Kabupaten Dharmasraya dan Pesisir Selatan (Pessel) yang juga rata-rata memiliki potensi perkebunan sawit. Sementara, investasi PMA juga banyak terdapat di Kota Padang.
Sementara, Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN) yang tertinggi ada di Kabupaten Padang Pariaman. Hal ini dikarenakan banyak investasi pengembangan dan pembangunan jalan tol. “Berdasarkan data PMA dan PMDN tersebut, khusus PMA banyak meningkat di sektor industri. Sedangkan PMDN banyak ada di sektor jasa,” terangnya.
Sementara, realisasi PMA berdasarkan asal negara, yang tertinggi berasal dari Singapura dan Malaysia. Bahkan, pada triwulan ketiga Investor asal Singapura masih mendominasi investasi di Sumbar. “Secara perusahaan saat ini jumlah investasi di Sumbar ada 174 perusahaan PMA. Investasi yang ditanamkan di Sumbar tercatat ada empat, yakni tanah, bangunan mesin dan lainnya,” terangnya.
Pengamat Sosial dari Universitas Negeri Padang (UNP), Asnil Mardin mengungkapkan, kondisi saat ini bisnis berinvestasi dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi saat ini, belum tentu memberikan dampak langsung di sektor rill terhadap masyarakat.
Asnil mencontohkan di Kabupaten Padang Pariaman. Begitu banyak investasi di daerah tersebut. Namun, kenyataannya, ada 60 persen lahan yang tidak produktif. Hal ini terjadi karena tidak ada kepastian yang diberikan kepada generasi muda dari dampak industrialisasi yang terjadi. “Investasi yang ada di Padang Pariaman tidak memberikan dampak kepastian di sektor rill,” terangnya.
Menghadirkan investasi, agar ada kelangsungan perputaran uang di daerah. Hasil investasi di Sumbar sampai saat ini belum menghasilkan karya cipta masyarakat. Padahal SDA daerah ini sangat kaya. Kenyataan yang ditemui, SDA yang dikelola investor selama ini belum memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat di sektor riil.
“Pesisir Selatan termasuk daerah dengan investasi cukup tinggi. Tapi dari segi pendidikan masyarakatnya masih rendah. Banyak investasi yang ada di daerah potensi perkebunan sawit, tapi justru tidak memberikan dampak bagi pendidikan dan kesejahteraan masyarakatnya. Seperti di Pasaman dan Dharmasraya. Investasi bagus tapi pertumbuhannya semu,” terangnya.
Padahal, dari investasi yang ada selama ini, ada dana CSR dari perusahaan investasi tersebut sebesar Rp65 miliar yang masuk ke Sumbar. Sayangnya dana CSR yang ada digunakan hanya lebih banyak untuk pencitraan. Efektifvitasnya tidak ada.
“Padahal ada peluang dana CSR dari perusahaan itu untuk pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di daerahnya. Hadirnya investor melalui program CSR-nya dapat dikelola melalui BUMDes. Seperti yang telah dilakukan perusahaan air minum Aqua di Solok yang telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap masyarakatnya melalui CSR yang dikelola melalui unit usaha BUMDes-nya,” terangnya.(fan)