Sikua Bakubang, Sadonyo Kanai Luluak

Penggrebekan salah seorang penjual sate di Kota Padang yang diduga menggunakan daging babi membuat heboh masyarakat. Satu sisi patut diberikan apresiasi pada stakeholders terkait yang sudah membongkar misteri tersebut. Pada sisi lain patut dipikirkan langkah jangka panjang untuk pengawasan sekaligus mengamankan usaha usaha sejenis.
Produk produk makanan kuliner yang aneka ragam menjadi salahsatu kekayaan masyarakat Sumatera Barat. Beragam kuliner baik yang dilakukan skala kecil maupun sampai setingkat restoran menjadi salahsatu daya tarik dunia wisata. Sumatera Barat terkenal dengan makanan yang enak dan mengundang selera. Bahkan belakangan juga dikampanyekan wisata halal.Jika kejadian yang satu ini tidak diselesaikan secara komprehensif dikhawatirkan akan merugikan masyarakat luas. Si terduga pengguna daging babi tentu perlu diperiksa dan diproses sesuai aturan yang berlaku. Apakah ada unsur kesengajaan untuk mengelabui konsumen demi untung yang besar, atau dia menjadi korban akibat tipuan sumber penjual daging. Tentu sumber penjual juga diperiksa dengan ketentuan yang berlaku.
Berjualan daging babi di tempat umum dengan komunitas muslim yang mayoritas tentu tidak elok. Barangkali dinas terkait bisa saja membuat regulasi bagi yang membuka usaha tersebut silahkan di lokasi lokasi tertentu. Jelas mereknya, jelas pasarnya dan bukan akal akalan untuk mengelabui konsumen.
Kejadian ini ibarat saikua kabau bakubang, sadonyo kanai luluak nyo. Satu orang terduga melakukan tindakan kecurangan, banyak orang yang menanggung dampaknya. Tentu banyak masyarakat yang meningkatkan kewaspadaan, khawatir berbelanja di kuliner jalanan. Bisa saja main aman kuliner di restoran yang memberikan label aman dan jaminan halal.
Tindakan tindakan curang di lapangan bukanlah memberikan keuntungan, tetapi banyak memberikan kemudaratan. Satu yang berbuat banyak orang yang menanggung risiko. Apalagi kalau ada penjual penjual sate yang memiliki nama kebetulan sama. Betapa mereka merasakan dampaknya, karena informasi begitu gencar di media media baik konvensional maupun medsos.
Wirausaha dalam kuliner dan wisata adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Kita semua patut menjaga agar keduanya dapat berjalan dengan baik. Banyak orang yang menggantungkan hidup bergerak di sektor wisata, dan banyak pula yang menggantungkan di sektor kuliner termasuk berjualan sate. Jualan sate mengantarkan anak anak mereka sekolah ke jenjang pendidikan tinggi, jualan sate banyak yang mengantarkan mereka ke tanah suci. Jangan sampai salah tusukan daging untuk keuntungan sesaat merugikan untuk jangka panjang.
Sosialisasi dan pembinaan terhadap pedagang pedagang makanan perlu dilakukan secara terus menerus. Terutama makanan yang menjadi khas Minang, bisa rendang, bisa sate, atau produk lain yang disukai baik oleh masyarakat lokal maupun para wisatawan. Pemerintah melalui instansi instansi terkait tentu tak tinggal diam melakukan pembinaan agar mereka menghasilkan produk berkualitas, aman dan berlabel halal. Bukan kah kita mengkampanyekan wisata halal? Mungkin saatnya untuk membenahi secara total. (*)

Exit mobile version