Nyaris Gulung Tikar di saat Pandemi, Anasrizal, Tetap Jaga Eksistensi Konveksi Tas Baceno

SEJAK 1988— Toko konveksi tas Baceno milik Anasrizal di Baceno di Jalan Ir. H. Juanda No. 51 Kota Padang, sudah dirintis sejak 1988 dan sudah mengalami gulung tikar empat kali, namun akhirnya menjaga eksistensi hingga kini di tengah persaingan industri.

JUANDA, METRO–Sebuah tempat usaha konveksi tas dengan merek Baceno di Jalan Ir. H. Juanda No. 51 Kota Padang, tampak begitu sepi dari pengunjung. Namun begitu, deru mesin jahit pun terdengar cukup jelas hingga ke bagian halaman dari tempat usaha konveksi tersebut. Dan tentunya, deru mesin jahit itu menandai bahwa orderan tas di konveksi Baceno cukup banyak.

“Alhamdulillah, orderan sudah mulai banyak dan saya bisa kembali mempekerjakan 3 tukang jahit. Waktu pandemi Covid-19 kemarin agak berat, nyaris gulung tikar. Karena, tidak ada pemasakan sama sekali. Omzet nol rupiah. Bahkan ketika itu, saya terpaksa merumahkan semua pekerja yang jumlahnya 7 orang,” kata Anasrizal, pemilik usaha konveksi tas Baceno, Senin (10/10).

Meski pada saat pandemi Covid-19 usahanya nyaris gulung tikar, tapi pria yang akrab disapa Pak Anas itu tak menyerah, dan tetap berusaha mempertahankan eksistensi konveksi miliknya yang telah dirintis sejak tahun 1988. “Selama pandemi, pesanan tas pada umumnya untuk anak sekolah, jumlahnya tidak banyak. Dan itu, saya sendiri yang buat, karena semua pekerja dirumahkan,” ujarnya.

Di samping terus menjaga eksistensi usaha konveksinya, pria asal Su­ngai Limau, Padang Paria­man, ini, juga fokus me­ngelola usaha kuliner sara­pan pagi dan rumah makan yang lokasinya be­rada di samping usaha konveksi miliknya. Usaha kuliner itu pun telah dirintis sejak 2015. Dan usaha kuliner tersebut, merupakan buah dari hasil kerja kerasnya mengem­bangkan usaha konveksi tas.

Modal Rp175 ribu

Sebelum menjadi pengusaha konveksi yang terbilang cukup sukses, Anas sempat bekerja dengan kakak kandungnya yang juga pengusaha konveksi di kawasan Ulak Karang selama 10 tahun, yaitu sejak 1978-1988. Waktu satu dekade bekerja menjadi anak buah dari saudaranya itu, kemampuan Anas membuat tas kian terasah, hingga akhirnya di penghujung 1987, timbulah keinginan untuk merintis usaha konveksi sendiri.

Selain dorongan dari sang kakak dan istri, keinginan untuk mandiri juga tak lepas dari semakin tingginya kebutuhan ekonomi. Apalagi ketika itu, dirinya sudah berkeluarga dan punya tiga orang anak. Tentunya, ia pun membutuhkan pendapatan yang lebih.

Untuk itu, ia pun mulai menyisihkan pendapatannya sedikit demi sedikit hingga akhirnya di pertengahan 1998, tabungannya pun mencapai Rp175 ribu. Uang sebesar itu, kata Anas, nilainya cukup besar ketika dan cukup untuk memulai usaha konveksi dengan skala kecil.

Anas kemudian menyewa sepetak rumah di Jalan Bahari, Kampuang Tangah, Ulak Karang, yang dijadikan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat usaha konveksi.

Meski sudah memproduksi tas sendiri, ternyata tak mudah untuk memasarkannya. Bahkan ketika dijual ke Pasar Raya Padang, tak satu pun ada toko tas yang berminat. Berbagai alasan secara halus, diungkapkan pemilik toko untuk menolak tas yang diproduksinya. “Pemilik toko gak mau beli tas saya. Katanya sudah punya langganan konveksi,” ungkapnya.

Kendati semua toko tas menolak, Anas tak langsung menyerah begitu saja. Saban hari, dia pun terus mendatangi satu persatu toko tas yang ada di kawasan Pasar Raya Padang. Namun sayangnya, hasilnya di luar dugaan. Sejumlah toko dari langganan kakaknya juga ikut menolak untuk membeli tas yang diproduksinya.

Anas pun kembali mendatangi beberapa toko tas di Pasar Raya Padang. Namun untuk kedatangan kali itu, katanya, harga tas yang ditawarkan kepada pihak toko jauh di bawah harga normal. “Saya tawarkan satu lusin itu Rp50 ribu, dan ada lima lusin yang saya punya. Ternyata ada yang berminat,” ungkapnya.

“Dari Rp50 ribu per lusin, saya dapat Rp2000 untuk satu tas. Itu hanya upah dan bukan untung. Hal itu terpaksa saya lakukan agar tas terjual, karena saya juga butuh uang untuk biaya makan keluarga,” ungkap bapak tujuh orang anak itu mengenang. Setelah semua tas habis dijual, dia pun pulang ke rumah dengan langkah lunglai.

Anas menyebut, sepanjang perjalanan dari pasar ke rumah, dirinya terus merenungkan nasib yang tak kunjung berubah, meskipun sudah memulai usaha konveksi sendiri. Setiba di rumah, ia pun mengatakan kepada istrinya untuk kembali bekerja di tempat usaha konveksi kakaknya. Karena, merintis usaha sendiri itu sagat susah dan butuh perjuangan yang begitu sulit dilalui.

Namun, istrinya menolak dan meminta dirinya untuk terus berusaha lebih keras lagi. Tak hanya itu, istrinya juga marah mendengar adanya keinginan untuk kembali menjadi anak buah di tempat konveksi, meskipun konveksi tersebut miik kakaknya.

“Mendengar saya ingin kembali jadi anak buah kakak saya, istri saya marah dan bilang, ‘Bapak harus semangat, karena anak-anak sudah mulai besar. Kita harus bangkit pak. Biaya kebutuhan besar dan kita harus maju pak’. Mendengar yang disampaikan istri saya, saya pun bangkit. Apalagi ketika itu, istri saya juga ikut membantu mencarikan langganan tas di Pasar Raya Padang,” katanya.

UMKM Binaan CSR Semen Padang

Di samping adanya kerja sama dengan distributor, Anas juga dituntut untuk terus mengembangkan usahanya, karena permintaan dari bulan ke bulan terus meningkat. Namun untuk mengembangkan usaha tersebut, tentunya Anas butuh modal yang cukup besar. Anas sempat mencoba mengajukan pinjaman ke berbagai bank. Karena proses pinjaman yang cukup rumit, keinginan untuk mendapatkan pinjaman modal usaha pun sulit didapat.

Pada tahun 2003, Anas kemudian mendapat informasi adanya pinjaman modal usaha dari CSR PT Semen Padang. Tapi ketika itu, Anas tidak tahu bagaimana caranya, dan gak tahu kemana dan kepada siapa dia bertanya. Bahkan, beberapa pelaku usaha yang mengaku mendapat pinjaman modal dari CSR Semen Padang, juga enggan menunjukkan bagaimana proses peminjamannya. “Begitulah sulitnya, minta tunjuk ajar pun orang tak mau ketika itu,” kenangnya.

Meski tak ada yang mau memberitahu, yang namanya rezeki sudah ada yang mengatur. Di awal tahun 2004, Anas bertemu dengan seorang karyawan PT Semen Padang, Syafrizal, dan  merupakan teman sekolah adiknya. Ternyata Syafrizal merupakan orang yang tepat di saat dirinya sedang membutuhkan pinjaman dana untuk memodali usahanya.

“Pinjaman di CSR Semen Padang itu ternyata bagian dari pekerjaan Syafrizal. Dengan senang hati, Syafrizal langsung membantu saya, termasuk membantu membuatkan surat permohonan pinjaman modal usaha ke CSR Semen Padang,” katanya.

Sejak 2004 hingga sekarang, sudah lima kali Anas mendapatkan pinjaman modal usaha dari CSR Semen Padang. Pada pinjaman pertama yaitu sebesar Rp7 juta dengan lama cicilannya 2 tahun. Semua pinjaman itu dimanfaatkannya untuk beli bahan tas. Begitu modal usaha sudah ada, hubungan kerja sama Anas dengan distributor tas di Pasar Raya pun juga berakhir.

Namun di balik itu, pesanan pembuatan tas untuk seminar dari berbagai instansi pun mulai meningkat. Peningkatannya, juga sejalan dengan pendapatannya, sehingga tak butuh waktu 2 tahun bagi Anas untuk melunasi pinjaman ke CSR Semen Padang. “Hanya dalam waktu 19 bulan saya bisa melunasinya,” kata Anas.

Tak puas dengan perkembangan usahanya yang terus menanjak, Anas kembali mengajukan pinjaman ke CSR Semen Padang untuk ketiga kalinya. Bahkan pada pinjaman ke tiga ini, jumlahnya mencapai Rp30 juta. Setelah lunas, ia kembali mengajukan pinjaman Rp40 juta, dan Rp50 juta untuk tahap kelima. “Alhamdulillah, ini berkat bantuan CSR Semen Padang. Karena tidak hanya pinjaman modal yang diberikan, saya juga diberipelatihan manajemen keuangan oleh CSR PT SP,” pungkasnya. (ren/rel)

Exit mobile version