PADANG, METRO–Terkait masalah lahan Warga Repatrian Suriname Jorong Tongar Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) ini, Wakil Ketua I Badan Akuntanbilitas Publik Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BAP DPD RI), Asyera Respati A Wundalero mengatakan, BAP DPD RI hadir mengadvokasi dengan melaksanakan kunjungan kerja (kunker) analisis ke Kabupaten Pasbar pada 15 September 2017 lalu. Tahun 2020, juga ditindaklanjuti dengan RDP di Jorong Tongar yang dihadiri Pjs Bupati Pasbar dan Kepala Kementerian ATR/BPN Kabupaten Pasbar. Kesimpulan RDP waktu itu dibutuhkan data yang kuat terkait ahli waris. “Harus ada bukti dokumen sertifikat untul dilakukan pengukuran. Batas-batas alam sekarang dikuasai pihak perusahaan. Perwakilan perusahaan juga kurang koperatif,” tegas, saat Rapat RDP BAP DPD RI bersama Pemprov Sumbar dan Instansi terkait, Kamis (23/6) di Gubernuran.
Pada kesempatan itu, keturunan Warga Repatrian Suriname, Fidrik mengungkapkan, tahun 1953 silam, perwakilan orang tuanya dari Suriname datang ke Indonesia. Saat datang ke Indonesia, dilakukan survey daerah yang akan ditempati. Ada dua daerah yang disediakan, yakni Lampung dan Kabupaten Pasbar. Dari dua daerah itu, maka dipilihlah Pasbar. Tahun 1953 itu, dibuatlah surat penyerahan tanah oleh Pucuk Pimpinan Adat di Kabupaten Pasbar. Di mana pihak pucuk pimpinan adat menerima kedatangan kemenakan 300 KK dari Suriname dan disediakan lahan seluas 2.500 hektar untuk digunakan sebagai hak milik secara turun temurun.
Fidrik mengungkapkan, dari dua gelombang Warga Repatrian Suriname, hanya satu gelombang yang datang ke Pasbar. Karena itu, lahan yang disediakan dikurangi jadi 1.500 hektar. “Dengan lahan seluas 1.500 hektar ini, kita tidak dibiayai pemerintah. Tidak mungkin kita buka lahan seluas itu dengan akses jalan yang begitu sulit. Karena itu dilakukan secara bertahap, “ ungkapnya.
Saat pembukaan lahan tersebut, terjadi gejolak PRRI. Sehingga berdampak kondisi ekonomi Warga Repatrian Suriname semakin sulit. “Banyak saudara kita pergi keluar cari kehidupan. Istilahnya merantau,” ungkapnya. Namun, pada tahun 1986 ada kesepakatan kepala desa dengan PT TRR. Di mana lahan kosong di Jorong Tongar itu ditanami ubi oleh perusahaan dengan sistem sewa. Namun, tanaman ubi tersebut tidak berhasil. Kemudian PT TRR ini menanam coklat di atas lahan di jorong tersebut karena mendapat izin prinsip dari Gubernur Sumbar waktu itu, pada tahun 1996.
Bahkan, kemudian perusahaan ini juga menanam sawit. Yang mengherankan, ada juga kelompok tani yang membeli lahan dari PT TRR ini. “Jadi PT TRR ini menguasai lahan 280 hektar. Perusahaan ini juga sudah menjual lahan seluas 400 hektar dan sekarang masih miliki lahan seluas 280 hektar,” terangnya.
Fidrik mengaku, sejak tahun 1995 sampai sekarang dirinya sudah sampaikan masalah lahan ini ke pemerintah. “Pemerintah datangkan orang tua saya ke Indoneisa. Kami dibawa Pasbar dengan difasilitasi oleh pemerintah juga. Saya berharap pemerintah hadir. Jangan kami dibiarkan. Kami taat hukum. Kami tidak pernah lakukan aksi apapun. Kami sudah berikan data semuanya. Harapan kami, tuntutan kami, masalah ini jangan sampai berlarut. Tolong pemerintah hadir selesaikan ini,” harapnya.
Warga Repatrian Suriname lainnya, Umayanto mengungkapkan, dirinya juga mengalami diskriminasi dalam pengurusan sertifikat di Kementerian ATR/BPN Kabupaten Pasbar. “Kami tinggal bertahun- tahun sementara legalitas kami tidak ada. Padahal, kami bayar pajak juga,” ungkapnya.
Menyikapi masalah pengaduan masalah lahan Warga Repatrian Suriname ini, Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah mengatakan, permasalahan pertanahan jadi isu strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini berpengaruh terhadap kelancaran pembangunan dan hak masyarakat. Kondisi ini menurutnya menjadi tugas dan kewajiban pemerintah semakin berat. Karena pemerintah dituntut melaksanakan percepatan pembangunan yang memenuhi nilai-nilai hak azasi manusia (HAM) dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. “Masalah tanah ini ada HAM yang harus dilindungi dan juga harus menciptakan suasana yang kondusif,” tegasnya. Mahyeldi tidak memungkiri juga, Provinsi Sumbar berbeda dengan daerah lain. Kepemilikan tanah tidak hanya individual tapi komunal di daerah ini. Ada tanah adat dan pusako. Dengan kondisi ini, jika ada pihak ketiga ingin melaksanakan pembangunan agak panjang prosesnya. “Ada konsep investasi yang sangat terbuka. Hak tanah tidak akan beralih. Konsep investasi hanya bisa dengan sharing. Kalau jual-beli tanah susah. Namun, dengan susahnya jual-beli tetapi tanah milik masyarakat secara komunal juga menjadi pertahanan nasional. Karena tanah tidak bisa dimiliki orang berduit tapi dimiliki rakyat,” ungkapnya.
Di Sumbar masalah tanah ini cukup berat. Termasuk juga masalah tanah Warga Repatrian Suriname ini. Masalah ini muncul dan tenggelam, lalu berlalu. Jika ini dibiarkan, bisa jadi potensi politik yang dimanfaatkan kelompok tertentu. “Perlu solusi terbaik dengan mencari akar masalah. Sampai sekarang belum bisa dipetakan. Kepemilikan perlu dituntaskan dan dilengkapi. Perlu percepatan penyelesaian masalah ini. Semuanya butuh bukti-bukti, agar bisa diputuskan,” tegasnya.
“Yang penting ada kejelasan. Kita bisa mengoptimalkan dalam berbagai hal. Pertemuan ini diharapkan bisa diperoleh hasil yang dapat menyelesaikan masalah. Bagi pihak yang berwenang agar menyelesaikan masalah lahan ini secara bijaksana dan adil. Ini bentuk yang tepat menyelesaikan masalah dengan baik sesuai UU yang berlaku,” harapnya.(fan)