Desember 2024, Sumbar Alami Inflasi, Dipengaruhi Kenaikan Harga Rokok, Jengkol dan Cabai

ILUSTRASI-Gedung Bank Indonesia Provinsi Sumatra Barat.

PADANG, METRO–Meningkatnya kebutuhan terhadap sejumlah komoditas dalam libur natal dan tahun baru me­nyebabkan Indek Harga Konsumen (IHK) Sumatra Barat mengalami inflasi sebesar 0,35 persen. Inflasi dipengaruhi meningkatnya harga komoditas pangan seperti cabai, minyak goreng dan cabai rawit.

Kenaikan harga Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan jengkol juga turut memengaruhi meski inflasi lebih dalam tertahan oleh beberapa komoditas seperti bawang merah, beras, dan lainnya.

Pelaksana Harian (Plh) Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatra Barat Dandy Indarto Seno menyebutkan, kenaikan harga cabai merah dan cabai rawit disebabkan tingginya permintaan serta menu­runnya produksi lokal karena gangguan cuaca, dan berakhirnya periode panen di wilayah sentra di Pulau Jawa.

“Peningkatan permintaan di tengah berkurangnya pasokan minyak goreng curah, mendorong kenaikan harga komoditas minyak goreng.  Selain itu, inflasi pada Desember 2024 turut dipengaruhi oleh kenaikan harga sigaret kretek mesin (SKM) dan jengkol,” kata Dandy melalui siaran pers yang diterima, Selasa (7/1).

Dandy menjelaskan, laju inflasi yang lebih tinggi tertahan oleh penurunan harga sejumlah komoditas pangan, seperti bawang merah, beras, ikan serai, jeruk nipis limau, ikan cakalang ikan sisik, tomat dan ikan nila. Sementara itu, dari sisi kelompok, penyumbang inflasi terutama berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang mengalami inflasi 1,04 persen (month to month/ mtm) dengan andil inflasi 0,34 persen (mtm).

“Hal ini disebabkan peningkatan harga berbagai komoditas pangan seperti cabai merah, minyak goreng, cabai rawit, Sigaret Kretek Mesin (SKM), serta peningkatan harga jengkol. Peningkatan harga jengkol sebesar 12,77 persen (mtm) dengan andil 0,03 persen terhadap inflasi keseluruhan. Laju peningkatan harga tersebut dipengaruhi pola konsumsi masyarakat pada periode HBKN Nataru yang cenderung meningkat di tengah terbatasnya pasokan,” ujarnya.

Secara spasial, tegas Dandy, seluruh kabupaten/kota IHK di Provinsi Sumbar  mengalami inflasi. Kabupaten Pasaman Barat mengalami inflasi 0,73 persen (mtm), Kabupaten Dharmasraya inflasi 0,30 persen (mtm), Kota Padang inflasi sebesar 0,25 persen (mtm), dan Kota Bukittinggi inflasi 0,34 persen (mtm).

“Realisasi kabupaten/kota tersebut Iebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya, kecuali Kabupaten Dharmasraya yang tercatat inflasinya Iebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya. Secara tahunan, Kota Bukittinggi mencatatkan inflasi tertinggi sebesar 1,68 persen (year on year/yoy) di antara empat wilayah sampel IHK Sumbar. Diikuti oleh Kota Padang 1,00 persen (yoy), Kabupaten Dharmasraya 0,49 persen (yoy) dan Kabupaten Pasaman Barat sebesar 0,37 persen (yoy),” lanjutnya.

Dengan demikian, ungkap Dandy, penambahan dua wilayah yaitu Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Dharmasraya mencerminkan bahwa terdapat variasi dinamika ekonomi di Provinsi Sumbar. Dua kota yaitu Kota Padang, dan Kota Bukittinggi sebagai sentral aktivitas ekonomi yang berbasis pada services berupa perdagangan dan pariwisata menun­jukan Iaju inflasi yang Iebih tinggi.

“Ketidakmampuan ke dua kota dalam menye­diakan pasokan produksi secara mandiri, sedangkan secara siklus, populasi manusia di ke dua kota tersebut dapat meningkat pesat akibat pola-pola musiman periode Hari Besar Keagamaan Nasional kurang dapat diantisipasi dengan manajemen stok pre-emptive,” terangnya.

Sementara itu, Kabupaten Pasaman Barat dan Dharmasraya, meski terdapat peningkatan aktivitas ekonomi akibat kuatnya sektor perkebunan, dapat diantisipasi oleh produksi yang memadai secara mandiri.

Secara umum, inflasi Provinsi Sumbar secara keseluruhan tahun sebesar 0,89 persen (yoy). Ke depan, Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Sumbar  berkomitmen untuk terus menjaga stabilitas laju inflasi melalui strategi 4K yaitu ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, keterjangkauan harga, dan komunikasi efektif.

Penguatan sinergi dengan berbagai pihak juga terus dilanjutkan agar implementasi program pengendalian inflasi pangan lebih efektif serta mewujudkan terjaganya inflasi pada rentang 2,5 ± 1 persen (yoy) pada tahun 2025.

Dandy menambahkan, perlu strategi yang berbeda dalam pengendalian inflasi khususnya harga pangan antara Kota Padang dan Bukittinggi, dengan Kabupaten Pasaman Barat dan Dharmasraya. Kota Padang dan Bukittinggi sebagai kota services harus memikirkan penguatan manajemen stok serta kemandirian pangan pada daerah padat penduduk atau kemandirian pangan pada daerah perkampungan. Sementara itu, sebagai awalan Kabupaten Pasaman Barat dan Dharmasraya perlu memperkuat neraca pangan.

“Pendapatan yang meningkat pada sektor per­kebunan di ke dua wilayah akan mengakibatkan kenaikan daya beli dan konsumsi. Terdapatnya produksi tanaman bahan makanan dan hortikultura di ke dua kabupaten tersebut harus terus ditingkatkan produktivitasnya serta secara paralel melakukan penguatan kemandirian stok,” tutupnya. (rgr)

 

 

Exit mobile version