PADANG, METRO–Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, semangat B40 menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar minyak (BBM). Khususnya mengurangi BBM impor. Itu sejalan dengan keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk swasembada energi.
”Dasarnya karena BBM impor kita semakin tinggi dari tahun ke tahun. Produksi minyak dalam negeri turun, sementara kebutuhan naik. Untuk minyak diesel itu sudah enggak terlalu besar sebenarnya,” kata Fabby kepada Jawa Pos.
Nah, minyak sawit alias crude palm oil (CPO) dipakai untuk berbagai kebutuhan. Seperti industri, pangan, hingga kosmetik. Tidak hanya sebagai bahan bakar.
Kebutuhan tersebut meningkat setiap tahunnya. Sementara melihat produksi CPO dalam negeri tidak mengalami peningkatan yang signifikan dalam lima tahun terakhir. Dengan kisaran volume 45-47 juta ton per tahun.
Fabby menyatakan, menilik peningkatan B30 menjadi B35 membutuhkan penambahan CPO sebanyak 4-5 juta ton per tahun. Sedangkan, untuk B35 ke B40 perkiraannya ada kebutuhan 5-6 juta ton CPO tambahan per tahun.
”Kenaikan dari penggunaan untuk bahan bakar nabati tidak sebanding dengan kenaikan produksi CPO. Padahal kebutuhan dalam negeri juga kebutuhan yang non-bahan bakar juga meningkat untuk industri petrokimia, untuk minyak goreng, dan lain sebagainya juga meningkat,” ujar Fabby Tumiwa.
Di sisi lain, biaya produksi bahan bakar nabati tidak murah. Pembuatan biodiesel B40 masih menggunakan minyak yang harganya fluktuatif. Yang kegunaannya hanya sebagai bahan bakar. Sementara CPO lebih banyak bisa diolah dengan nilai tambah yang lebih variatif. Apalagi, produksi B40 mendapat subsidi dari pemerintah.
”Subsidinya dari mana? Dari pajak ekspor minyak sawit. Yang mana 50 persen CPO Indonesia itu dieskpor,” beber Fabby Tumiwa.
Fabby menjelaskan, jika produksi CPO tidak meningkat seiring dengan tingginya permintaan bahan bakar nabati, hal ini berisiko menimbulkan kelangkaan pasokan. Kenaikan permintaan yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi dapat menyebabkan harga minyak sawit, baik untuk kebutuhan bahan bakar maupun produk non-bahan bakar, ikut naik. Dampaknya akan dirasakan pada harga minyak goreng dan bahan baku oleochemical yang juga mengalami kenaikan.
”Kalau harga minyak goreng naik, dampaknya pada inflasi dan daya beli masyarakat juga akan terasa,” tandas Fabby Tumiwa.
Karena itu, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan dengan cermat trade-off dari kebijakan pengembangan bahan bakar nabati ini. Untuk meningkatkan produksi minyak sawit, salah satu cara yang mungkin ditempuh adalah dengan membuka lahan baru. Namun, kebijakan ini tidak tanpa konsekuensi, terutama terkait dengan dampak lingkungan dan emisi yang ditimbulkan.
Pembukaan lahan bukanlah solusi yang ideal. Jarena dapat merusak keseimbangan ekologis dan memperburuk masalah emisi karbon. Kebijakan pengembangan B40 tidak dapat dikatakan sebagai langkah yang tepat untuk mendukung transisi energi.
”Untuk transisi energi, kita harus fokus pada pengembangan bahan bakar non-BBM, bukan bahan bakar nabati,” tegas Fabby Tumiwa.
Dia berpendapat bahwa transisi energi yang sesungguhnya adalah dengan mengurangi konsumsi BBM dan menggantinya dengan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan energi, memperhitungkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan secara menyeluruh, terutama dalam konteks kemandirian energi nasional.(jpc)
Komentar