UNTUK menggambarkan asal-usul nenek moyang masyarakat Minang, terdapat sebuah pantun yang sangat familiar di kalangan masyarakat Minang:
Darimano asa titiak palito,
Di baliak telong nan batali
Darimano asa niniak moyang kito,
Dari lereang Gunuang Marapi
(Dari mana asal titik pelita
Dari balik telong yang bertali
Dari mana asal nenek moyang kita
Dari lereng Gunung Merapi)
Dari pantun tersebut, ada sebuah nagari yang digambarkan dan disebut sebagai asal dari Minangkabau dan terletak di lereng Gunung Marapi. Agaknya pantuan tersebut lebih mengarah ke Nagari Pariangan, Kabupaten Tanahdatar.
Jangan salah, akhir 2012 lalu, desa ini termasuk dalam daftar lima desa terindah di dunia versi Budget Travel. Empat desa lainnya adalah Desa Wengen (Swiss), Eze (Prancis), Niagara on the Lake (Kanada) serta Cesky Krumlov (Ceko).
Nagari Pariangan terletak di tengah lereng perbukitan Gunung Merapi dengan luas wilayah sekitar 17,97 kilometer persegi. Nagari tersebut menjadi cikal bakal lahirnya sistem pemerintahan khas masyarakat Minangkabau yang populer dengan nama nagari. Menurut sejumlah pengamat, sistem pemerintahan nagari mirip dengan konsep polis pada masyarakat Yunani kuno yang lebih otonom dan egaliter.
Namun, sistem pemerintahan nagari hanya bertahan sampai tahun 1980. Karena, pada tahun 1981, terbitlah undang-undang tentang perubahan sistem pemerintahan di tingkat bawah. Sistem pemerintahan nagari kemudian diganti dengan sistem pemerintah desa sebagaimana yang berkembang pada masyarakat Jawa.
Seperti nagari-nagari lainnya di Sumatera Barat, Nagari Pariangan pun beralih menjadi Desa Pariangan. Perubahan ini berdampak negatif pada masyarakat Sumatra Barat, seperti hilangnya kemandirian dan mengikisnya semangat egalitarianisme yang telah lama dipraktekkan. Pada tahun 1999, bertepatan dengan keluarnya keputusan pemerintah melalui UU Otomi Daerah yang memberi peluang bagi daerah untuk mengembangkan diri secara mandiri, masyarakat Sumatra Barat pun tidak melewatkan kesempatan emas tersebut.
Undang-undang tersebut dijadikan momentum untuk menerapkan kembali sistem pemerintahan nagari. Awal tahun 1999 hingga tahun 2000 adalah masa-masa pewacanaan kembali sistem pemerintahan nagari (baliak ka nagari), terutama di luhak nan tigo, yaitu Kabupaten Tanahdatar, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Lima Puluh Kota. Sistem pemerintahan desa pun berganti dengan sistem pemerintahan nagari. Pariangan sebagai daerah asal Minangkabau pun berganti nama dari Desa Pariangan menjadi Nagari Pariangan.
Tak hanya dikenal sebagai asal-muasal nagari, Nagari Tuo Pariangan juga dikenal sebagai asal-mula masyarakat Minangkabau. Dalam catatan sejarah yang terekam dalam tambo Minang menunjukkan bahwa Nagari Pariangan adalah nagari asal suku Minangkabau yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Tampuk Tangkai Alam Minangkabau.
Artinya, nagari ini dipercaya sebagai tempat pertama munculnya kehidupan di Alam Minangkabau ratusan tahun silam. Dalam tambo diceritakan, bahwa masyarakat Minangkabau merupakan keturunan Alexander Agung. Konon, beliau memiliki tiga orang putra, yaitu Sultan Maharaja Dipang (Sutan Maharajo Dipang), Sultan Maharaja Alif (Sutan Maharjo Alif), dan Sultan Maharaja Diraja (Sutan Maharajo Dirajo). Ketiganya merasa mempunyai hak yang sama untuk mewarisi jabatan ayahnya sebagai raja. Oleh sebab itu, ketiganya juga sama-sama berambisi untuk menggantikan posisi ayahnya tersebut.
Memasuki kawasan Nagari Pariangan, para wisatawan akan diajak bernostalgia untuk mengenang kembali sejarah berabad-abad lampau melalui beberapa peninggalan bersejarah. Para wisatawan akan disambut dengan bangunan-bangunan lama yang memiliki nilai sejarah, kuburan tua, peninggalan batu dari zaman megalitikum, dan panorama alam yang memukau.
Di Nagari Pariangan, terdapat berbagai tempat dan bangunan bersejarah peninggalan nenek moyang masyarakat Minangkabau yang menarik untuk dikunjungi, seperti Balairung Sari Tabek (Rumah Gadang tertua di Minangkabau), Rumah Gadang Dt. Bandaro I, Rumah Gadang Dt. Rangkayo Sati, Masjid Tuo (tua) Pariangan, serta Monumen Api Porda.
Selain bangunan bersejarah, di daerah ini juga terdapat beberapa kuburan kuno, di antaranya adalah kuburan panjang Datuk Tantejo Gurhano dan kuburan Puti Indo Jalito (Puteri Indera Jelita). Puti Indo Jalito dikenal sebagai bundo (bunda) dari asal pucuk pimpinan adat masyarakat Minangkabau, yaitu Datuk Parpatiah Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan yang dikenal sebagai arsitek rumah gadang.
Mengenai kuburan Datuk Tantejo Gurhano, menurut juru pelihara makam, Datuk Sampurno Marajo, tidak ada orang yang sama mengukur panjang makam yang membujur dari arah utara ke selatan. Ada yang mengatakan panjangnya 24 meter, ada juga yang mengatakan 29 meter.
Di nagari ini terdapat pula beberapa prasasti kuno peninggalan raja-raja pada masa Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Ada beberapa prasasti yang masih utuh yang dapat dijumpai di nagari tersebut, seperti Prasasti Pariangan, Batu Tigo Luak, dan Menhir. Prasasti-prasasti tersebut sudah berumur cukup lama bahkan menjadi saksi bisu perjalanan sejarah masyarakat Pariangan dari zaman megalitikum hingga zaman modern sekarang ini.
Batu dan prasasti tersebut masih tetap utuh di tempatnya semula. Hanya saja, akibat perubahan cuaca dan kurangnya perawatan, permukaan batu dan prasasti mulai memudar, warnanya berubah dan tertutup lumut.
Nagari Pariangan bertambah lengkap dengan terdapatnya tempat-tempat khusus untuk wisatawan agar lebih leluasa lagi menikmati panorama alam nagari tua ini, seperti Bukit Sirangkiang dan Pintu Angin. Dari kedua bukit tersebut, para wistawan dapat menyaksikan hamparan petak-petak sawah yang memesona dan pemandangan alam yang terdapat di sepanjang kaki Gunung Merapi.
Setelah puas menikmati keeksotisan dan keindahan nagari bersejarah bagi masyarakat Minang ini, wisatawan dapat melepas lelah dengan mandi di objek wisata air hangat yang letaknya dekat dengan kedua bukit tersebut. Masyarakat setempat mempercayai bahwa air hangat tersebut dapat menghilangkan berbagai penyakit kulit, seperti gatal-gatal, kurap dan kudis serta dapat menghilangkan kecapekan.
Ketika mengunjungi nagari ini, para pengunjung akan disuguhi pemandangan indah serta budaya dan arsitektur bangunan yang masih terjaga hingga hari ini. Sebagian besar warga di Pariangan masih menggunakan bangunan tradisional Minangkabau, yakni rumah gadang. Banyak diantaranya bahkan sudah berusia ratusan tahun. Ditambah lagi dengan keberadaan Masjid Ishlah yang merupakan desa tertua di ranah Minang dan menambah kaya warisan budaya Pariangan.
Di bagian awal desa, pengunjung akan disuguhi pemandangan perkebunan jagung dan beberapa tanaman lain dengan berjalan kaki beberapa menit sebelum tiba di pemukiman. Layaknya kawasan pedesaan, pemukiman di Pariangan tidak terlalu padat, sehingga bisa dengan leluasa menikmati suasana desa.
Sepanjang mata memandang, terlihat panorama sawah menghijau yang menyejukkan. Tapi, jika pemandangan indah belum cukup, selama berada di Pariangan, juga bisa menikmati pemandian air panas yang diyakini memiliki sumber air dari Gunung Marapi. Kadar sulfurnya sangat bermanfaat untuk kesehatan kulit.
Warga di desa Pariangan memiliki kebiasaan mandi bersama-sama di tempat pemandian umum atau yang biasa disebut tapian mandi yang bisa kamu temukan di depan Masjid Ishlah. Terdapat satu tapian mandi untuk perempuan yang diberi nama Rangek Subarang, serta dua tapian mandi untuk laki-laki bernama Rangek Gaduang dan Rangek Tujuah. Selain untuk mandi, tempat ini juga dimanfaatkan sebagai tempat mencuci.
Nagari Pariangan berada di tepi jalan yang menghubungkan Kota Batusangkar dan Kota Padang Panjang. Nagari tua ini hanya berjarak sekitar 100 meter dari jalan raya yang menghubungkan kedua kota tersebut. Dari Kota Padang, Nagari Pariangan dapat dikunjungi dengan menggunakan bus, jasa travel, atau mobil sewaan dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Sedangkan, dari Kota Batusangkar, Ibu Kota Kabupaten Tanah Datar, Nagari Pariangan dapat dicapai dengan naik bus, minibus, atau ojek dengan waktu tempuh sekitar 20 menit. (**)
Komentar