Pariaman Kota Tujuan Wisata Nasional

H Genius Umar Wali Kota Pariaman

Wali Kota Pariaman H Genius Umar menyatakan saat ini Kota Pariaman telah tumbuh menjadi kota tujuan wisata dalam Provinsi Sumatra Barat dan seluruh Indonesia. “Hal ini dibuktikan dengan angka kun­jungan wisatawan ke Kota Pariaman selalu meningkat setiap tahunnya,” kata Walikota Pariaman H Genius Umar, kemarin. Terbukti dari data BPS katanya, tercatat pada tahun 2018 menjadi 3.322.560 orang wisatawan dan naik menjadi 3.925.344 pada Tahun 2019.  Jika dirata-ratakan setiap pe­ngunjung yang datang ke Kota Pariaman menghabiskan uang­nya Rp 100 ribu saja per orangnya, maka 392 miliyar telah beradar di Kota Pariaman pada tahun 2019. Angka ini belum termasuk pada wisa­tawan yang menginap di Kota Pariaman. Okupansi hotel dan homestay di Kota Pariaman ketika itu mencapai 90 persen, setiap week end dan peak season, penginapan selalu penuh. Ketika pandemi Covid-19 me­landa dunia temasuk Kota Pariaman terkena dampaknya, jumlah wisatawan jauh me­nurun. Hal ini bisa kita maklumi karena semua sektor memang sedang terdampak wabah ini.

Namun data ini menjadi semangat dan motivasi bagi Pemko Pariaman untuk terus menata dan membenahi kawa­san pesisir menjadi objek wisata yang menarik untuk dikun­jungi.“Penataan kawasan pe­sisir ini telah mulai dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sebe­lum saya. Bahkan sejak saya menjadi Wakil Walikota Paria­man pada tahun 2013 dan dilanjutkan sebagai Walikota Pariaman tahun 2018, pem­bangunan kawasan pesisir dikonsep secara berkelanjutan (sustainable coastal development),” ujarnya.

Kota Pariaman katanya,  adalah salah satu kota di pesisir Pulau Sumatera, Provinsi Su­matera Barat yang mempunyai luas wilayah sebesar 73,36 km2 dan luas lautan 282,56 km2, dengan panjang garis pantai 12 km.  Potensi kawasan laut lebih besar daripada daratan, se­hingga Kota Pariaman sangat cocok tampil sebagai kota yang menjadikan kawasan pesisir sebagai objek wisata unggulan di Kota Pariaman.

Garis pantai yang me­manjang dari selatan ke utara ini terdapat beberapa pantai sudah sangat dikenal oleh wisatawan seperti Pantai Sunua di ujung selatan Kota Pariaman, Pantai Binasi, Pantai kata, Pantai Cermin, Pantai Gan­doriah, Pantai Pauh, Pantai dan Kawasan Manggrove Apar, Pantai Manggung, Pantai Na­ras dan Pantai Belibis di ujung utara Kota Pariaman. Dise­panjang garis pantai ini terdapat 53 kelompok nelayan peri­kanan tangkap dengan anggota rata-rata 25 orang yang terse­bar pada 13 desa yang dilalui oleh pantai. Awalnya mereka hanya menggantungkan hidup sebagai nelayan. Namun de­ngan sentuhan pembangunan berkelanjutan ini masyarakat nelayan bisa mendapatkan uang dari sector lain seperti, berjualan makanan atau minu­man di pantai, menjadi pelaku pariwisata, menjual cendra­mata, menyewakan kapal k­e­pada wistawan dan seba­gainya.

“Pembangunan ini dika­takan keberlanjutan, karena kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomi karena pembangunan di Pantai Kota Pariaman dapat me­ning­katkan pertumbuhan ekonomi masyrakatnya.  Setelah pantai di Kota Pariaman ditata dengan menarik dan menyediakan fasilitas bagi pengunjung maka muncullah sumber-sumber ekonomi lainnya bagi ma­syarakat nelayan seperti ber­dagang, pemandu wisata atau bahkan sebagai pelaku jasa pariwisata lainnya.  Dengan penataan pantai yang menarik, sehingga kunjungan wisatawan semakin banyak dan masya­rakat pun melihatnya sebagai sumber ekonomi. Maka mun­cullah kedai-kedai kopi modern, kedai kuliner, penyewaan sepeda, mainan anak dan kedai-kedai lainnya,” sebut Genius Umar.

Berkelanjutan secara eko­logis mengandung arti, bahwa pembangunan ini dapat mem­pertahankan integritas ekosis­tem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodi­versity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya da­pat berkelanjutan. Dengan mengedukasi nelayan agar lebih peduli dan ramah dengan lingkungan lautnya sebagai sumber mata pencaharian maka potensi laut bisa dinikmati dalam jangka waktu yang lama. Nelayan tidak lagi merusak terumbu karang karena akan merusak lingkungan dan me­ngurangi populasi ikan, se­hingga dalam jangka waktu dekat akan berdampak sig­nifikan terhadap ekonomi ma­syarakat nelayan sendiri.

Selain konservasi terumbu karang, Pemko Pariaman juga telah melakukan konservasi terhadap penyu dan hutan mangrove di Desa Apar. Pusat konservasi penyu dan mangrove ini terletak dalam satu kawasan dan sekarang telah tumbuh menjadi destinasi wisata yang sangat menarik dan unik karena hanya ada di Kota Pariaman.

Masyarakat nelayan sekitar desa ini, selain menangkap ikan di perairan Kota Pariaman juga memburu telur penyu dan dijual kepada manusia untuk dikon­sumsi. Hal ini sangat tidak baik bagi keberlangsungan alam terutama penyu yang telah ditetapkan sebagai salah satu hewan langka di Indonesia.

“Perlahan namun pasti kita edukasi masyarakat terhadap dampak negatif jangka panjang jika telur-telur penyu ini terus diburu dan dijual. Penyu akan punah dan keseimbangan ekosistem alam akan tergang­gu.  Dengan pendekatan lang­sung kepada masyarakat hing­ga akhirnya mereka pun paham dan mau bekerjasama dengan pemerintah tanpa merusak keseimbangan ekosistem alam. Bahkan Pemko Pariaman saat itu (sebelum kewenangan kon­servasi penyu diambil alih oleh Pemprov Sumbar Tahun 2018) sangat serius dengan kon­sevasi penyu ini. Pemko Paria­man membentuk Unit Pelak­sana Teknis (UPT) Konservasi Penyu di bawah Dinas Kelau­tan dan Peri­kanan kala itu. UPT tersebut ber­tugas salah satunya untuk me­ng­konservasi penyu” tutur­nya.

Telur penyu yang diburu oleh masyarakat dibeli oleh UPT untuk ditetaskan hingga menjadi tukik. Sehingga sumber panca­harian masyarakat yang men­cari telur penyu tidak terganggu dan pemerintah juga bisa meng­konservasi penyu. Pusat kon­servasi ini juga menjadi tempat edukasi bagi masyarakat se­kitar, pelajar dan para peneliti serta menjadi daya tarik wisata karena kita buka untuk umum. Kegiatan melepas tukik pe­nyupun bisa dijadikan sebagai sumber Pen­dapatan Asli Dae­rah (PAD).

Setelah wisatawan belajar langsung mengenai penyu di pusat konservasi ini, dengan membayar Rp.10.000 per ekornya, wisatawan sudah bisa melepas tukik penyu ke pantai. Proses edukasi non formal ini bisa menumbuhkan rasa peduli terhadap lingkungan bagi wi­satawan. Sehingga ekosistem penyu bisa terjaga, ekonomi masyarakat terangkat dan wisatawan teredukasi dengan baik.  Disebelah kawasan konsevasi penyu ini terdapat kawasan hutan mangrove seluas 7 hektar. Kawasan yang sebelumnya tidak bermanfaat dan tidak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, sekarang dikembangkan menjadi desti­nasi wisata yang menatik dan dikelola oleh Bumdes Apar.

Dikatakan berkelanjutan secara sosial politik bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil pem­ba­ngu­nan, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengem­bangan kelembagaan.   Pada tahap ini maka bagi masyarakat yang sudah merasakan dampak dari pembangunan ini akan terangkat secara social mau­pun ekonominya. Selain itu juga akan muncul kelompok-ke­lompok masyarakat seperti kelompok sadar wisata, ko­munitas-komunitas peduli lingku­ngan dan lain sebagainya.

“Bila kita terus konsisten mengembangkan pem­ba­ngu­nan dengan konsep ini maka banyak benefit yang kita da­patkan. Alam tetap terjaga, ekonomi masyarakat terber­dayakan dan sosial masyarakat pun terangkat. Semoga kea­daan pandemi ini cepat berlalu dan pembangunan serta pari­wisata kembali bergairah,” tandasnya mengakhiri.(efa)

Exit mobile version