Pemimpin itu bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Pertanggungjawaban itu tak hanya di dunia, tetapi juga diminta di akhirat kelak. Bukti pertanggungjawaban di dunia banyak yang sudah kita lihat, tetapi pembuktian di akhirat tentu ditimbang dulu sejauhmana pelanggaran amanah yang dilakukan.
Setiap kita menjadi pemimpin, minimal bagi seorang laki laki ia menjadi pemimpin di rumah tangga. Tentu bagi mereka yang berkeluarga atau menikah. Punya istri dan anak, tetapi bagi yang belum atau tidak menikah minimal ia menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri. Ini sudah selah lemah atau jabatan pemimpin yang minimal bagi setiap orang.
Pemimpin keluarga bertanggung jawab atas keluarga yang dipimpin. Paling tidak ia wajib menjaga diri dan keluarga dari azab api neraka. Maka tidak gampang menjadi seorang pemimpin keluarga itu. Ia tak hanya mencari nafkah, menafkahi keluarga dengan rezki yang baik dan halal. Tetapi ia juga menjaga keluarganya dari kemungkinan kemungkinan terjerumus pada perbuatan tidak baik.
Menjauhi maksiat. Menjaga ibadah. Menjauhi narkoba dan penyakit masyarakat lainnya. Sepertinya memang sederhana tetapi dengan pergaulan ala remaja saat ini, plus perkembangan teknologi yang begitu luar biasa, butuh kerjasama dalam menjaga keutuhan keluarga. Agar tidak bercerai berai, agar tidak dirusak dari luar. Perlu ikhtiar bagi setiap pemimpin keluarga untuk menjaga keutuhan itu. Caranya tentu berbeda beda.
Memimpin keluarga adalah ukuran terkecil untuk menilai kepemimpinan seseorang. Apakah ia layak untuk memimpin organisasi atau lembaga yang lebih besar. Memimpin orang yang lebih banyak, dengan dinamika yang beraneka ragam pula. Bagi yang belum lolos menjadi pemimpin keluarga, patut diragukan kepoawaiannya memimpin organisasi yang lebih besar.
Pilkada sudah memasuki masa masa panen sosialisasi bakal calon. Menjelang bulan penyusunan agenda Pilkada oleh KPU, sudah banyak nama yang muncul. Ada yang dimunculkan, ingin dimunculkan atai sekadar muncul muncul saja. Itu bagus juga agar sejak awak kita bisa memilih dan memilah mana yang patut dan mungkin untuk dijadikan calon pemimpin. Orang yang akan ditinggikan seranting, didahulukan selangkah.
Banyaknya nama yang muncul sebagai kandidat kepala daerah baik provinsi maupun kabupaten menandakan bahwa iklim demokrasi di negeri kita masih bagus. Bayangkan kalau tak ada yang mau maju, apalagi ada kabar honor atau gaji kepala daerah itu terbilang kecil, tak sepadan dengan tugas atau tanggung jawab. Apalagi jika dikaitkan dengan anggaran sosial yang dikeluarkan.
Masih kecil saja gaji kepala daerah, ternyata masih banyak yang minat. Jika itu hukumnya, sebaiknya tak usah dinaikkan gaji kepala daerah itu. Sebab jika terlalu tinggi tak tertampung tampung nama yang mengapung. Kewalahan Parpol menyelekasi kandidat, habis waktu untuk menyeleksi saja. Padahal Parpol banyak tugasnya, seperti memberikan pendidikan politik ke rakyat dan meningkatkan kapasitas kader.
Parpol tetap menjadi bagian yang dominan dan tak terpisahkan dari rangkaian demokrasi. Memang ada jalur independen tetapi kebanyakan peminat Pilkada lebih suka jalur Parpol. Mungkin karena terukur, jelas dan pasti. Untuk jaringan sosialisasi pun sudah tersebar para kader hingga pelosok negeri.
Hari hari dan bulan bulan ke depan merupakan waktu yang penuh warna warni para kandidat bupati dan gubernur. Sambil berdiang nasi masak, sambil mengayuh biduk hilir. Sepanjang waktu itu pula kita sebagai rakyat bisa memilih dan memilah mana atah mana beras. Mana yang hampa mana yanh berkualitas.
Pemimpin itu ditinggikan seranting didahulukan selangkah. Artinya ketika dia salah kita masih bisa memarik untuk mengingatkannya. Tapi kalau pemimpin itu terlalu jauh dengan rakyat tentu tak ada waktu untuk mengingatkannya. Mulai saat ini mari kita lihat lihat mana yang paling pas memimpin daerah kita ke depan. Sebagai gubernur dan sebagai bupati bagi kabupaten yang akan Pilkada. Mulai lah melihat kepemimpinan mereka dari keluarga, tetapi harus tabayun dengan informasi yang clear dan berbang. Bukan fitnah, sepihak apalagi hoax. Mari cerdas memilih peimpin, agar tak membeli kucing dalam karung. (*)
Komentar