JAKARTA, METRO–Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, mendorong Sentra Gakkumdu yang terdiri dari Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, untuk merumuskan ulang hukum acara pemilu dan pilkada. Usulan ini akan diajukan kepada DPR dan pemerintah dalam revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada mendatang.
“Adanya ketidaksamaan antara hukum acara pemilu dan pilkada, seperti pada aturan in absentia, perlu dirumuskan kembali. Ini penting agar tidak menimbulkan persoalan dalam penanganan pelanggaran di masa mendatang,” ujar Bagja dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (26/12).
Bagja menyoroti tantangan besar dalam penanganan pelanggaran di Bawaslu, di mana waktu penyelesaian hanya diberikan 14 hari. Hal ini sangat kontras dengan proses penyidikan di kepolisian yang bisa berlangsung tiga hingga enam bulan.
“Kita bekerja di bawah tekanan waktu yang sangat singkat. Bisa dibilang ini termasuk kategori mission impossible dalam undang-undang. Meski demikian, kita tetap berhasil melakukannya, bahkan hingga menghasilkan putusan pengadilan, meskipun masyarakat banyak yang tidak menyadari hal ini,” tambahnya.
Menurut Bagja, proses hukum acara yang lebih baik perlu dirancang agar pelanggaran dan sengketa pemilu dapat ditangani secara lebih efektif. Hal ini harus selaras dengan tahapan pemilu dan pilkada yang merupakan proses terencana (predictable process) dengan hasil yang tak bisa dipastikan (unpredictable result).
Bagja menyatakan bahwa revisi UU Pemilu dan Pilkada menjadi langkah penting untuk memperbaiki hukum acara. Rumusan baru ini juga diharapkan dapat menjelaskan lebih rinci alasan sebuah kasus dianggap tidak memenuhi syarat materiil, sehingga penanganan tindak pidana pilkada lebih transparan.
“Ke depan, kami berharap revisi undang-undang dapat menciptakan hukum acara yang lebih baik dalam penanganan pelanggaran pemilu dan pilkada. Usulan ini nantinya akan kami sampaikan kepada DPR dan pemerintah,” tegasnya.
Bagja juga memberikan pesan khusus kepada Bawaslu daerah yang nantinya akan memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia mengingatkan pentingnya menyusun keterangan yang solid dan berbasis teknis.
“Keterangan yang diberikan harus memuat alasan yang jelas dan teknis terkait mengapa sebuah kasus tidak memenuhi syarat materiil. Ini penting agar tidak ada lagi penjelasan yang hanya bersifat normatif,” pungkasnya. (rom)
Komentar