Kawal Putusan MK, Tolak RUU Pilkada, Demo di DPRD Sumbar Memanas, Mahasiswa Tak Temukan Anggota Dewan usai Digeledah

DEMONSTRASI— Massa melakukan aksi demonstrasi di DPRD Sumbar menolak revisi UU Pilkada.

PADANG, METRO–Aksi demonstrasi menolak revisi Undang-Undang Pilkada yang dilakukan ratusan mahasiswa dari berbagai universitas di Sumatra Barat (Sumbar) di kantor DPRD Sumbar di Jalan S Parman Ulak Karang Utara, Kecama­tan Padang Utara, Kota Padang, Kamis (22/8), sempat memamanas.

Aksi demonstrasi juga terjadi di sejumlah kota lain di Indonesia, menolak DPR mengesahkan revisi UU Pilkada yang tak mematuhi putusan Mahkamah Kon­stitusi (MK). Mereka pun mendesak agar DPR me­ma­tuhi putusan MK terkait aturan ambang batas pe­n­calonan partai politik s­erta batas umur untuk menjadi calon kepala daerah.

Awalnya, massa da­tang secara bergerombol mengenakan atribut dan membawa spanduk mela­kukan awalnya melakukan orasi di bundaran depan DPRD Sumbar. Meski digu­yur hujan, pada pukul 13.40 WIB, massa tetap bertahan melakukan demonstrasi dan bahkan membakar ban di jalan.

Pada pukul 15.00 WIB, massa bergerak maju ke gerbang DPRD Sumbar, sedangkan di bagian da­lam pekarangan kantor sudah bersiaga ratusan Polisi. Massa kemudian memaksa masuk ke peka­rangan gedung untuk me­nyampaikan aspirasinya ke anggota DPRD Sumbar.

Hanya saja massa ter­ta­han di pintu masuk ka­rena pagar terkunci. Massa kemudian memanjat dan mendorong pintu agar bisa masuk, tapi pihak Kepo­lisian mencegahnya. Aksi dorong-dorongan antara massa dengan Polisi sem­pat terjadi dan berakhir setelah ada negosiasi.

Polisi menawarkan agar yang memeriksa ke dalam gedung hanya per­wakilan massa saja. Na­mun, massa yang terdiri dari mahasiswa dan aktivis demokrasi tidak mau dan meminta semua­nya bisa masuk. Aksi orasi kembali terjadi di depan pagar ge­dung DPRD Sum­bar memin­ta massa agar bisa masuk.

Setelah melaksanakan shalat Ashar, Polisi pun mempersilahkan be­bera­pa perwakilan massa meng­geledah gedung itu dengan tujuan mencari anggota dewan untuk menyam­pai­kan aspirasinya. Namun, setelah memeriksa tiap-tiap ruangan dengan pe­nga­walan dari Polisi, tidak satu pun anggota dewan ditemukan di tempat. Mas­sa terlihat kecewa karena tidak menemukan satu pun anggota dewan padahal saat ini adalah hari kerja.

Salah satu orator, Rifai Lubis mengatakan aksi ini merupakan ultimatum rak­yat Sumbar menyela­mat­kan demokrasi dan Re­publik Indonesia.

”Demokrasi Indonesia dibunuh dan republik di­ram­pas oleh Dinasti Jokowi dan kroninya. Alih-alih jadi negarawan, Dinasti Jokowi malah jadi penculas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan jaba­tan bagi anak dan kroni-kroninya,” kata.

Dalam siruasi darurat ini, Rifai menyampaikan rakyat wajib marah dan muak. Menurutnya rakyat bukan dagelan permainan politik Dinasti Jokowi dan kroninya.

”Kami rakyat Sumbar melakukan ultimatum se­bagai berikut, pertama su­dahi kemuakan dan kema­rahan rakyat,” ujar Rifai.

Rifai juga mendesak DPR menghentikan pem­bahasan revisi uu pilkada yang melawan putusan MK. Selanjutnya, kata dia, jika masih ngeyel dan ber­main-main kedaulatan rak­yat pihaknya akan meng­himbau rakyat agar mem­boikot Pilkada yang meng­hancurkan demokrasi dan republik ini.

”Situasi darurat ini, se­le­mah-lemah iman adalah turun kejalan selamatkan demokrasi dan republik. Republik Indonesia bukan milik jokowi dan kroni-kro­ninya,” kata RIfai.

Selain itu, salah satu mas­sa aksi yang memberi­kan orasi adalah Dosen Fa­kultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand), Hary Efendi Iskandar. Dia menyebut aksi yang dila­kukan bebe­rapa mahasis­wa hingga masyarakat sipil di Sumbar merupakan ben­tuk kepe­dulian masyarakat yang ingin merawat de­mokrasi.

“Kita merasa ini, daru­rat dan sangat darurat. Kita harus turun bersama dengan semua komponen. Mulai dari anak bangsa, NGO hingga ormas. Ka­rena semua kita harus peduli, kalau kita tidak peduli. Berarti bisa jadi, demokrasi ini menjadi ku­buran dan menjadi barang yang telah mati,” ung­kapnya. (fer)

Exit mobile version