JAKARTA, METRO–Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa pengusutan praktik pungli yang terjadi di rumah tahanan (rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbilang sangat lambat. Sebab, sejak Dewan Pengawas (Dewas) KPK melaporkan kepada Pimpinan KPK sejak Mei 2023 lalu, hingga saat ini prosesnya mandek pada tingkat penyelidikan
Hal ini setelah Dewas KPK akan menggelar persidangan dugaan pelanggaran kode etik terkait praktik pungutan liar (pungli) di rutan KPK yang dilakukan oleh 93 orang pegawai. Jumlahnya fantastis, berdasarkan penuturan Dewas sebesar Rp 4 miliar berhasil diraup oleh puluhan pegawai hanya dalam kurun waktu tiga bulan pada Desember 2021-Maret 2022.
“Sedangkan dugaan pelanggaran kode etik pun seperti itu, lebih dari enam bulan Dewas baru menggelar proses persidangan,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana da lam keterangannya, Minggu (14/1).
Kurnia menyebut, KPK telah gagal dalam mengawasi sektor-sektor kerja yang terbilang rawan terjadi tindak pidana korupsi. Sebagai penegak hukum, mestinya KPK memahami bahwa rutan merupakan salah satu tempat yang rawan terjadi korupsi, karena di sana para tahanan dapat berinteraksi secara langsung dengan pegawai KPK.
Selain itu, tindakan jual-beli fasilitas yang disinyalir terjadi di rutan KPK juga bukan modus baru dan kerap terjadi pada rutan maupun lembaga pemasyarakatan lain. Ia menekankan, mestinya sistem pengawasan sudah dibangun untuk memitigasi praktik-praktik korup.
“Sulit dipungkiri, peristiwa pungli yang dilakukan oleh puluhan pegawai juga disebabkan faktor ketiadaan keteladanan di KPK. Dari lima orang Pimpinan KPK periode 2019-2024 saja, dua di antaranya sudah terbukti melanggar kode etik berat, bahkan Firli saat ini sedang menjalani proses hukum karena diduga melakukan perbuatan korupsi,” cetus Kurnia.
Selain melakukan reformasi total pengawasan di internal lembaga, lanjut Kurnia, KPK juga harus memastikan rekrutmen pegawai mengedepankan nilai integritas.