Oleh: Reviandi
Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, banyak wali nagari di Sumatra Barat (Sumbar) mundur meski masa jabatannya masih panjang. Bahkan ada yang baru saja terpilih pada Pilwana (Pemilihan Wali Nagari) 2022. Artinya belum genap setahun, sudah mundur demi jabatan yang lebih mentereng.
Ya, sejumlah wali nagari memilih mundur demi mengikuti kontestasi pencalegan ke DPRD Kabupaten/Kota atau Provinsi. Jabatan wakil rakyat dinilai lebih baik daripada jabatan sekarang yang juga dipilih oleh rakyat. Tapi soal pemasukan, memang sangat jauh bila dibandingkan dengan menjadi anggota Dewan. Mungkin itu adalah salah satu alasan kenapa berani meninggakan masa jabatan.
Tapi pastinya tidak semua Walnag yang mundur karena cuan saja. Banyak dari mereka yang posisi keuangannya sudah sangat mapan, tapi tetap mengejar jabatan yang lebih tinggi. Karena ingin mendapatkan lahan pengabdian yang lebih luas, karena menjadi wali nagari sangat banyak keterbatasannya.
Yang pasti wali nagari yang hendak maju sebagai Caleg wajib mundur dari jabatannya. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 11 Ayat (2) huruf b PKPU Nomor 10 Tahun 2023 berbunyi “Mengundurkan diri sebagai kepala desa, perangkat desa, atau anggota badan permusyawaratan desa yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.” Merujuk pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 29 huruf i UU tersebut melarang kepala desa rangkap jabatan sebagai anggota legislatif.
Tak hanya kepala desa, sejumlah jabatan lain juga harus mundur dari jabatannya jika mencalonkan diri. Menurut Pasal 240 Ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mereka yang wajib mundur dari jabatan jika maju Calwg yakni kepala daerah, Wakil kepala daerah, Aparatur sipil negara (ASN), Anggota TNI, Anggota Polri, Direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada BUMN dan/atau BUMD atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.
Sementara para Menteri masih aman. Karena tak ada aturan yang melarang menteri jadi Caleg atau mengharuskan menteri mundur jika menjadi calon anggota legislatif. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 57/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa menteri tak harus mundur untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD.
Jabatan menteri berbeda dengan jabatan lain seperti bupati yang dipilih secara demokratis sehingga eksistensinya bergantung pada yang bersangkutan. Menteri yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif berpotensi menyalahgunakan kekuasaan dan memanfaatkan fasilitas pemerintah. Namun, hal itu dapat ditekan karena ada mekanisme kontrol dari Presiden, DPR, maupun oleh masyarakat.
Kembali kepada wali nagari yang mundur demi Pileg, ada beberapa alasan yang logis ataupun tak logis. Pertama adalah permintaan masyarakat yang ingin ‘ketua’ mereka naik kelas. Dengan jabatan yang lebih tinggi, seorang wali nagari bisa berbuat lebih untuk nagarinya. Berbeda dengan status wali nagari yang dapat disebut sebagai pejabat administratif saja.
Berbeda dengan anggota DPRD yang punya kewenangan dalam penganggaran baik dalam pokok pikiran (Pokir) ataupun APBD Kabupaten/Kota sampai Provinsi. Tak jarang, wakil rakyat yang pandai ‘manjuluak’ ke pusat, bisa pula membawa anggaran pusat (APBN) ke nagari mereka. Apalagi duduk dari partai yang sedang berkuasa dan sejalan dengan pemangku kepentingan di ibu kota. Kucuran dana dipastikan akan lebih deras mengalir.
Partai politik (parpol) sebagai peserta Pemilu juga kerap membidik para wali nagari untuk ‘mengamankan’ suara mereka saat kontestasi. Tak jarang, ada beberapa wali nagari yang tak kuasa menolak rayuan partai untuk menjadi Caleg. Karena tak semua orang berkesempatan dijagokan partai untuk bertarung pada Pemilu.
Biasanya, wali nagari yang dibujuk langsung oleh parpol ini adalah mereka yang punya penduduk banyak. Dan saat maju Pilwana, suara yang didapat sangat banyak dan berpotensi bisa menjadi tambahan kursi dewan. Dengan menarik wali nagari sebagai Caleg, ada jaminan kursi bisa didapat. Bahkan bisa berpeluang mendapatkan kursi kedua atau ketiga.
Tapi ada juga petinggi partai yang menyesal mengambil langkah ini. Karena ada beberapa wali nagari yang awalnya dianggap sebagai penambah suara, malah terpilih. Sementara pengurus partai yang mengajaknya gagal mendapatkan suara yang cukup. Karena sistem Pemilu 2024 masih seperti sebelumnya, pemilik kursi adalah suara terbanyak, bukan nomor urut. Jadi waspadalah para pengurus partai.
Beberapa wali nagari menganggap menjadi anggota Dewan adalah peningkatan karir setelah dekatnya akhir masa jabatan. Biarlah mundur meski menyisakan beberapa bulan masa jabatan dan berharap bisa ‘naik kelas’ ke gedung dewan. Kalau selama menjadi wali nagari berprestasi dan dekat dengan rakyat, pastinya upaya ini bisa berjalan mulus. Karir inyiak wali juga akan moncer. Syukur-syukur bisa jadi Bupati atau Wali Kota.
Ada juga beberapa wali nagari di Sumbar adalah mantan anggota DPRD tingkat dua. Mereka sempat kalah pada Pemilu sebelumnya dan memilih menjadi wali nagari. Karena sudah memiliki nama dan mengetahui cara menarik simpati warga. Apalagi, menjadi wali nagari hanya butuh suara dari satu nagari, sedangkan wakil rakyat harus mendapatkan suara dari satu sampai beberapa Kecamatan.
Nah, setelah duduk jadi wali nagari dan Pemilu datang kembali, maka bertarunglah lagi. Diduga, jabatan wali nagari hanya dijadikan sebagai ‘pengisi waktu’ menunggu Pemilu selanjutnya. Sekaligus bisa mempertahankan elektabilitas dan menambah peluang mengumpulkan suara lebih lagi. Meski tak ada jaminan dukungan full suara satu nagari cukup untuk mengantarkannya ke kursi dewan kembali.
Terakhir, ada juga wali nagari yang nekat mundur karena ingin eksis lebih baik lagi dari sekadar di nagari. Percaya diri punya kemampuan lebih dari sekadar wali nagari, membuat mereka ingin menambah kekuasaan sebagai wakil rakyat. Bahkan ada yang setelah menjadi anggota DPR bernafsu jadi kepala daerah. Biasanya, orang seperti ini adalah petarung yang tak ragu habis-habisan mengejar jabatan yang lebih tinggi.
Itulah beberapa alasan kenapa wali nagari memilih jabatan lain meski masyarakat telah mengamanahkannya memimpin mereka. Karena benar, kekuasaan itu adalah candu yang menarik siapapun. Satu jabatan belum akan memuaskan orang-orang seperti ini sampai mereka sadar kalau sudah kalah dan menyesal melepas jabatan lebih rendah. Mungkin kalau gagal di Pemilu, tahun depan akan maju Pilwana lagi. Apalagi kabarnya, tahun depan jabatan kepala desa atau wali nagari bisa sampai sembilan tahun.
Erich Fromm, seorang filsuf dan psikolog dari Jerman dan Amerika Serikat pernah berujar, “Di masa lalu, pemimpin adalah bos. Namun kini, pemimpin harus menjadi partner bagi mereka yang dipimpin. Pemimpin tak lagi bisa memimpin hanya berdasarkan kekuasaan struktural belaka.” Jadi, nyiak wali mau yang seperti apa? Mau jadi bos, atau partner dari masyarakat. (Wartawan Utama)