Sesuai fakta hukum tersebut, maka Irman Gusman sudah selesai menjalani pidana selama tiga tahun dan hukuman politik selama tiga tahun. Apabila Irman Gusman harus dihukum lagi dengan hukuman politik, sehingga tidak dapat mengikuti Pemilu 2024, maka berarti Negara menghukum warganya tanpa adanya kesalahan yang dibuat warganya.
Karena Irman Gusman telah selesai menjalani hukuman, baik pidana badan maupun hukum politik. Ini melanggar azas hukum yang menyatakan tiada hukuman tanpa kesalahan. Ini juga berarti KPU Sumbar telah melanggar hak azasi Irman Gusman untuk maju dalam Pemilu 2024, sehingga tindakan demikian jelas kesewenang-wenangan, karena menghukum warga negara yang tidak melakukan kesalahan apapun terhadap KPU Sumbar.
Fahrul juga menegaskan, Keputusan KPU Sumbar yang telah keliru memaknai status hukum Irman Gusman sebagaimana diuraikan dalam putusan PK MA tertanggal 24 September 2019 tersebut, ternyata telah mendatangkan kerugian yang amat besar bagi Irman Gusman, sehingga KPU Sumbar harus mempertanggung jawabkannya secara hukum.
KPU Sumbar ternyata juga telah keliru memaknai Pasal 182 huruf g UU No.7 Tahun 2017 yang menyangkut status hukum Irman Gusman. Karena ternyata status Irman Gusman yang dipersyaratkan dalam Pasal 18 ayat 2 PKPU No 11 Tahun 2023 itu tidak bertentangan dengan Pasal 182 huruf g UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena Pasal 182 huruf g dimaksud mensyaratkan ancaman pidana lima tahun atau lebih.
Sementara putusan PK oleh MA terhadap Irman Gusman tidak menggunakan Pasal 12 huruf b UU Tipikor yang mensyaratkan ancaman pidana lima tahun atau lebih, melainkan menggunakan Pasal 11 yang mensyaratkan ancaman pidana satu sampai lima tahun, Sementara putusannya tiga tahun. Sehingga terhadap Irman Gusman tidak bisa diberlakukan Pasal 182 huruf g tersebut, karena ternyata ancamannya satu tahun atau lebih sampai lima tahun. Jadi tidak sesuai Pasal 182 huruf g tersebut.
Pasal 182 huruf g UU No. 7 Tahun 2017 tersebut juga memuat klausul pengecualian. Dengan adanya klausul pengecualian, Irman Gusman seharusnya dikecualikan dari pembatasan dalam pasal 182 huruf g, karena telah mengumumkan kepada publik yang bersangkutan mantan terpidana, melalui penerbitan tiga jilid buku berjudul Menyibak Kebenaran yang telah beredar luas di masyarakat.
Juga telah mengumumkan kepada publik yang bersangkutan mantan terpidana melalui SK Kepala Lapas Sukamiskin Bandung dan Surat Keterangan Kejaksaan serta pemberitaan di media massa. Dengan demikian, Irman Gusman seharusnya dikecualikan dari pembatasan dalam Pasal 182 huruf g tersebut. Karena semua unsur pengecualian Pasal 182 huruf g tersebut telah terpenuhi.
“Dengan keputusan KPU Sumbar, maka KPU Sumbar telah mendatangkan kerugian materiil dan non-materiil terhadap Irman Gusman yang telah mengikuti semua proses pencalonan Anggota DPD sebagaimana dipersyaratkan KPU Pusat.
“Maka menjadi tanggung jawab KPU Sumbar dan KPU Pusat yang keputusannya telah melanggar azas-azas hukum di negara ini. Sehingga pihak yang dirugikan akan meminta pertanggungjawabannya secara hukum,”tegasnya.
Diketahui, KPU Sumbar mencoret nama Irman Gusman dari daftar calon sementara (DCS) anggota DPD-RI dapil Sumatera Barat. Pencoretan mantan Ketua DPD RI itu dilakukan karena tidak memenuhi syarat sesuai keputusan Mahkamah Agung (MA).
“KPU Sumatera Barat menindak surat dinas KPU RI Nomor 1096 perihal tindak lanjut putusan Mahkamah Agung. Melalui surat tersebut, KPU Provinsi diperintahkan untuk mempedomani Putusan MA Nomor 28 Tahun 2023 pada masa penyusunan daftar calon tetap DPD,”kata Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM KPU Sumbar, Jons Manedi Selasa (31/10).
Menurut Jons, ada dua dokumen Irman Gusman yang diverifikasi kembali, yakni putusan pengadilan yang bersifat inkrah dan Surat Keterangan Kalapas Kelas 1 Suka Miskin Bandung. Irman sendiri pernah menghuni Lapas Suka Miskin Bandung dalam kasus korupsi yang ditangani KPK. (fan)




















