JAKARTA, METRO – Status hukum Ketua DPR Setya Novanto di status korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) tidak lagi terkatung-katung. Pada Senin (17/7) malam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan dia sebagai tersangka. Setnov, disangka merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun.
Ketua KPK Agus Rahardjo di kantornya mengatakan, dasar penetapan Setnov setelah mencermati fakta persidangan kedua terdakwa. Yakni, Irman dan Sugiharto yang pada pekan lalu menyampaikan pledoi. ”KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi menjadi tersangka. KPK menetapkan saudara SN,” ujarnya.
Dia mengatakan, Setnov diduga memperkaya diri sendiri atau korporasi sehingga menyebabkan kerugian negara sampai Rp2,3 triliun. Setnov disangka melanggar Pasal 3 atau pasal 2 ayat 1 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 KUHP. “Sebagaimana telah disampaikan ke publik sebelumnya atas tiga tersangka. Yakni Irman, Sugi, dan Andi Narogong,” imbuhnya.
Merujuk pada UU Tipikor, Pasal 2 ayat 1 menyebutkan, setiap orang yang secara sah melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Sedangkan di Pasal 3, menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.
Penetapan Setnov sebagai tersangka sesuai dengan keyakinan JPU KPK dalam kesimpulan analisa yuridis, saat membacakan surat tuntutan untuk kedua terdakwa perkara e-KTP. Jaksa meyakini, SN dinilai terbukti turut serta dalam sengkarut dugaan mega korupsi e-KTP, sesuai Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Hal ini menyusul adanya pertemuan antara terdakwa Irman dan Sugiharto, Andi Agustinus, Diah Anggraini, dan Setnov di Hotel Grand Melia Jakarta pada Februari 2010 silam, sekitar pukul 06.00 Wib. Dimana dalam pertemuan tersebut, para terdakwa meminta dukungan Setnov dalam proses penganggaran tersebut, dan Setnov menyatakan dukungannya terhadap proses penganggraan proyek e-KTP yang sedang berjalan di Komisi II DPR.
Menurut jaksa, berdasarkan fakta dan teori hukum dapat disimpulkan bahwa pertemuan antara para terdakwa dengan Setya Novanto, Sekretaris Jenderal Kemendagri, Diah Anggraini, dan Andi Narogong di Hotel Gran Melia Jakarta, menunjukan telah terjadi pertemuan kepentingan.
Andi selaku pengusaha menginginkan mengerjakan proyek. Diah dan para terdakwa selaku birokrat yang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Setya Novanto saat itu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar.
Dalam hal ini, Setya Novanto mempunyai pengaruh dalam proses penganggaran pada Komisi II DPR RI. Apalagi, Ketua Komisi II DPR adalah Burhanuddin Napitupulu yang merupakan anggota Fraksi Partai Golkar.
Menurut jaksa, pertemuan itu merupakan permulaan untuk mewujudkan delik korupsi. Jaksa menilai bahwa semua yang hadir dalam pertemuan menyadari bahwa pertemuan itu bertentangan dengan hukum, serta norma kepatutan dan kepantasan.
Apalagi, pertemuan dilakukan di luar kewajaran, yakni pada pukul 06.00 WIB. Selain pertemuan, menurut jaksa, unsur penyertaan juga telah terbukti dengan adanya upaya Setya Novanto untuk menghilangkan fakta.
Novanto memerintahkan Diah Anggraini agar menyampaikan pesan kepada Irman, agar mengaku tidak mengenal Novanto saat ditanya oleh penyidik KPK. Tak hanya itu, dalam suatu peristiwa, Irman dan Andi Narogong pernah menemui Novanto di ruang kerja di Lantai 12 Gedung DPR dan membahas proyek e-KTP.
Selain itu, fakta hukum lain yang mengaitkan keterlibatan Setnov, juga adanya pertemuan antara Andi Agustinus alias Andi Narogong bersama terdakwa satu, yang menemui Setnov di lantai 12 Gedung DPR RI, guna memastikan dukungan Setnov terhadap penganggaran proyek e KTP.
Dalam pertemuan tersebut Setnov mengatakan sesuatu. “Ini sedang kita koordinaskan perkembanganya nanti hubungi Andi,” urai JPU KPK Mufti Nur Irawan.
Fadli Zon Siap Gantikan
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengaku siap menggantikan posisi Setya Novanto sebagai pelaksana tugas (Plt) ketua DPR.
Hal itu menyusul karena penetapan Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara senilai Rp2,3 triliun. “Kita semua harus siap,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/7).
Kendati demikian, pimpinan DPR lainnya akan menggelar rapat pimpinan lebih dulu untuk membahas penetapan tersangka Novanto itu. Tentunya, kata dia, harus mengacu pada UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. “Saya usulkan rapim besok, meskipun agendanya sudah padat,” paparnya.
Sementara untuk status keanggotaan Novanto di DPR, sesuai UU MD3, dia masih bisa menjadi anggota sebelum ada keputusan inkrah. Namun, untuk posisinya di kursi pimpinan perlu ada pergantian atau tidak, kata Fadli tergantung pada keputusan fraksi partai Golkar di DPR.
”Kalau fraksinya tetap memberikan satu keleluasaan pada pimpinan di DPR dalam posisi pimpinan tidak ada masalah, selama belum inkrah kecuali dari partainya melakukan pergantian,” pungkas Fadli. (jpg)