PADANG, METRO–Polisi terus mendalami surat bertanda tangan Gubernur Sumatra Barat (Sumbar) Mahyeldi yang digunakan oleh lima orang non pegawai (masyarakat biasa) meminta uang sumbangan untuk penerbitan buku. Bahkan, satu per satu pihak yang berkaitan dengan penerbitan surat itu pun diperiksa oleh Satreskrim Polresta Padang.
Hanya saja, Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Han Sastri, yang sudah dilakukan pemanggilan untuk dimintai keterangan, mangkir dari panggilan Polisi pada Sabtu (21/8) dengan alasan sedang berada di Bukittinggi. Meski tak bisa hadir, Polisi kembali mengatur ulang jadwal pemeriksaan terhadap Sekdaprov.
Sebelum pemanggilan Sekdaprov, Polisi sudah terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap pihak Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumbar. Alhasil, dari pemeriksaan, ternyata surat yang dipakai untuk memintai uang sumbangan itu adalah asli dan dikeluarkan oleh Bappeda Sumbar.
Diketahui, terungkapnya surat dengan tanda tangan Gubernur Sumbar dan kop surat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumbar, setelah Satreskrim mengamankan lima orang yang menggunakan surat itu untuk meminta sumbangan kepada pengusaha, pemilik dealer kendaraan bermotor dan kampus.
Uang itu disebutkan untuk penerbitan buku profil “Sumatra Barat Provinsi Madani, Unggul dan Berkelanjutan”. Namun, karena surat itu diduga kuat asli, lima orang yang sempat diamankan, kembali dilepas karena tidak terbukti melakukan penipuan, meski uang sumbangan itu masuk ke dalam rekening pribadi.
“Sudah diperiksa (pihak) Bappeda, surat memang dikeluarkan oleh mereka. Tapi surat hanya dikasih ke pimpinan tapi enggak kembali lagi,” kata Kasat Reskrim Polresta Padang, Kompol Rico Fernanda, Minggu (22/8).
Dijelaskan Kompol Rico, selain melakukan pemeriksaan terhadap pihak Bappeda, rencananya pada Sabtu (21/8), pihaknya sudah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Sekdaprov. Namun, pihaknya mendapatkan informasi kalau Sekdaprov tak bisa hadir lantaran sedang berada di Bukittinggi.
“Karena Sekdaprov tidak bisa hadir, maka kami atur jadwal kembali untuk pemanggilan ulang. Yang jelas, perkara ini akan terus berproses dengan memintai keterangan saksi-saksi terkait surat minta uang sumbangan tersebut,” tegasnya.
Dalam kasus surat ini, pihak kepolisian menyita sedikitnya tiga kardus berisikan surat gubernur yang rencananya akan dibagikan. Sebelumnya, surat digunakan oleh lima orang yang bukan merupakan pegawai Bappeda.
Mereka berinisial Do (46), DS (51), Ag (36) MR (50) dan DM (36). Total uang yang telah masuk ke rekening pribadi salah seorang dari lima orang ini sebesar Rp 170 juta. Ratusan juta itu dari hasil 21 surat yang telah dibagikan sebelumnya ke kampus, rumah sakit, dealer kendaraan hingga pengusaha di Kota Padang. Rencana tiga kardus surat lainnya akan dibagikan ke wilayah Sumbar.
Seperti diketahui, surat tertanggal 12 Mei 2021 bernomor 005/3904/V/Bappeda-2021 tersebut perihal penerbitan profil dan potensi Provinsi Sumatra Barat. Kop surat ditandatangani Mahyeldi Ansharullah.
Dalam surat menyebutkan dapat partisipasi dan kontribusi dalam mensponsori penyusunan dan penerbitan buku profil “Sumatera Barat “Provinsi Madani, Unggul dan Berkelanjutan” dalam versi Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris serta Bahasa Arab serta dalam bentuk soft copy.
KPK Ingatkan Mahyeldi Ada Sanksi Pidana
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkat suara mengenai polemik surat sumbangan yang diduga diteken oleh Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah untuk keperluan penerbitan buku. KPK mengingatkan pegawai negeri dan penyelenggara negara, khususnya Mahyeldi, harus menghindari gratifikasi.
“KPK ingin mengingatkan kembali larangan meminta sumbangan dalam kaitan potensi gratifikasi dari informasi adanya surat permintaan sumbangan Gubernur Sumbar kemarin,” kata Plt Juru Bicara KPK Ipi Maryati dalam keterangan yang diterima, Minggu (22/8).
Ipi menjelaskan, setiap pejabat negara harus menghindari perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Permintaan sumbangan, hadiah, atau dengan sebutan lain oleh pejabat negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok dilarang.
“Baik secara tertulis maupun tidak tertulis, merupakan perbuatan yang dilarang dan dapat berimplikasi pada tindak pidana korupsi,” kata dia.
Oleh karena itu, KPK mengingatkan kepada kepala daerah lainnya untuk tidak melakukan perbuatan meminta, memberi, ataupun menerima sumbangan, hadiah dan bentuk lainnya. Apalagi hal itu berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban serta tugasnya.
“Baik yang diberikan atau diterima secara langsung maupun yang disamarkan dalam berbagai bentuk. Perbuatan tersebut dilarang karena dapat menimbulkan konflik kepentingan, bertentangan dengan peraturan atau kode etik, serta memiliki risiko sanksi pidana,” jelas dia.
Ipi menjelaskan, KPK telah mengeluarkan surat edarannya tentang pengendalian gratifikasi telah mengingatkan kepada para pimpinan lembaga negara untuk menghindari gratifikasi dan patuh terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Hal itu penting demi mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
“Pegawai negeri dan penyelenggara negara dilarang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Gratifikasi tersebut dianggap pemberian suap, sebagaimana diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman pidananya, yaitu 4 sampai 20 tahun penjara dan denda dari Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar,” tegasnya. (rom/jpnn)