Oleh: Reviandi
Setelah pendaftaran bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) ditutup Komisi Pemilihan Umum (KPU) 14 Mei 2023, isu sistem Pemilu tertutup kembali mencuat. Tak tanggung-tanggung, di banyak platform media sosial dan WhatsApp Group (WAG), kutipan video dari para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) beredar, dari anggota, wakil ketua sampai ketuanya.
Dari sejumlah video dan berita yang beredar itu, ada kecenderungan para hakim MK memihak kepada opsi sistem tertutup. Artinya, pemilih tidak lagi memilih barisan para Caleg yang didaftarkan partai politik. Melainkan hanya memilih logo atau nomor urut partai saja. Siapa yang akan duduk, akan menjadi urusan partai.
Arti katanya, Caleg yang berpotensi terpilih, kalaupun masih dimasukkan dalam surat suara, hanyalah yang berada di nomor urut 1, 2, 3 dan seterusnya, sesuai jumlah kursi yang diraih partai. Sementara yang nomor di bawah, tak akan mendapatkan keuntungan apa-apa, selain hanya membantu nomor urut atas berpeluang menjadi anggota dewan.
Sistem tertutup ini, kalau diumumkan putusannya oleh MK sebelum pendaftaran Caleg ditutup, dipastikan tidak akan banyak orang yang berminat jadi Caleg pada Pemilu 2024 ini. Karena, nomor urut atas akan dikuasi oleh orang-orang partai politik, ataupun orang yang mampu membayar tinggi. Tentunya tidak akan ada lagi cerita “orang biasa” menjadi wakil rakyat.
Sinyal itu telah disampaikan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Saldi Isra. Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang menyoroti banyaknya kader parpol yang berdarah-darah dalam mengabdi untuk parpolnya. Tapi belakangan malah kalah dengan Caleg yang bermodal populer semata.
Saldi menggali masalah tersebut menanggapi keterangan ahli Titi Anggraini soal usulan Caleg minimal sudah 3 tahun gabung dengan parpol yang mengusulkan. Sebab hal itu untuk menghindari petualang politik. Katanya, hampir semua parpol yang ada di sidang MK melakukan hal yang sama, mengajukan Caleg populer. Kader yang berdarah-darah di partai, ditinggalkan begitu saja. Kalau masuk, nomor tidak terpilih.
Para ahli yang datang ke MK sudah sangat banyak jumlahnya. Setiap sidang MK, juga didatangi para perwakilan parpol yang setuju ataupun yang tidak setuju sistem terbuka ini diubah ke tertutup. Aneh memang, sidang ini terkesan sangat berlarut-larut. Mungkin sudah ada enam bulan. Mungkin seharusnya keputusan MK ini terbit sebelum pendaftaran kemarin.
Karena terlalu lamanya wara-wiri di MK, banyak yang menduga, MK akan memutuskan setelah keluarnya daftar calon tetap (DCT) dari KPU. Hal ini tentu akan membuat calon yang mendaftar tidak akan bisa mundur lagi. Paling kuat, mereka hanya tidak akan ikut berkampanye, karena sudah pasti yang akan duduk yang nomor urut atas saja.
Kondisi ini bisa berpotensi tidak adanya semangat para Caleg untuk mangampanyekan diri, atau membuat kurang geregetnya Pemilu. Ancamannya, akan membuat partisipasi pemilih kian berkurang, jauh di bawah Pemilu 2019 lalu yang mencapai 75 persen. Tak dipungkiri dukungan dari para Caleg berpengaruh terhadap partisipasi pemilih.
Ketua MK Anwar Usman membantah tudingan upaya memperlambat putusan perkara sistem pemilu. Pernyataan itu ditegaskan Anwar dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan agenda keterangan ahli dari pihak terkait, yaitu Derek Loupatty.
Katanya, cepat lambatnya persidangan perkara ini tidak hanya bergantung kepada MK. Masih ada pihak yang mau mengajukan ahli, dari Garuda dan NasDem. Jadi, mohon dimaklumi, kecuali Garuda dan Nasdem tidak, tentu sidang siang ini sidang yang terakhir. Ipar Presiden Jokowi ini menegaskan bahwa pihaknya tidak berupaya untuk mengulur sidang putusan.




















