Oleh: Reviandi
Terlepas dari perdebatan apakah Hari Pers Nasional (HPN) diperingati tanggal 9 Februari bertepatan dengan kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) atau tidak, yang jelas Kamis 9 Februari 2023 hari besar itu diperingati. Puncak acaranya di Medan, Sumatra Utara (Sumut) dengan tema “Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat.”
Masuk di akal, kalau panitia HPN membuat tema terkait antara pers dengan demokrasi. Karena 9 Februari 2023 adalah satu tahun jelang Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilres), 14 Februari 2024. Sangat penting kembali menggelorakan kebebasan pers terkait dengan alek demokrasi lima tahunan itu.
Kebebasan pers memang sangat mudah diucapkan, enak dituliskan, bagus kalau dijadikan slogan untuk spanduk-spanduk, sampai baliho sebesar gaban. Namun, untuk dikerjakan di industri pers amatlah sulit. Tidak semudah mengopi paste berita yang sudah tayang di media lain, diambil dan ditayangkan di media kita sendiri. Mudah, aman, dan jarang bermasalah.
Persoalan kebebasan pers hari ini sangat sering berbenturan dengan kesejahteraan para pekerja pers, atau ada yang rela menyebutnya dengan buruh pers. Karena, begitu lemahnya peran jurnalis dalam meminta haknya kepada perusahaan pers. Hal itulah yang diduga membuat banyak jurnalis “bekerja” di luaran, meski masih banyak yang tetap menjaga harga dirinya sebagai pewarta.
Namun, tak sedikit pula yang benar-benar larut dengan ketakutannya akan kelaparan, kemiskinan, sampai ketidakberdayaan menghidupi keluarga dan rela kehilangan marwahnya sebagai penjaga kedaulatan rakyat. Konon untuk menjaga demokrasi, menjaga harga diri paling prinsip saja kadang tak bisa. Yang seperti itu sebaiknya jangan jadi wartawan, biar kami saja.
Apalagi kalau pemilik media adalah pengusaha, penguasa atau pejabat. Maka pekerja pers benar-benar harus bekerja “melayani” tuannya dengan baik. Jangan sampai menyentuh bisnis tuan dan koleganya, jangan mengganggu kebijakan tuannya, dan jangan menggangu relasi tuannya. Maka, demokrasi seperti apa yang mau dijaga dengan pers seperti ini.
Belum lagi seperti tidak pedulinya pemerintah terhadap industri pers, apalagi media cetak dan media mainstream lainnya. Tidak ada kebijakan yang benar-benar membantu media, agar bisa tetap eksis. Memberikan berita yang baik, dan telah terverifikasi dengan sempurna. Karena, mahalnya ongkos cetak, biaya produksi atau biaya jaringan dan lainnya.
Sudah berkali-kali, para pengusaha pers meminta pemerintah menggelontorkan bantuan untuk pers, terutama saat pandemi Covid-19. Karena begitu susahnya bertahan saat industri meredup, dan suasana bisnis nasional juga ambruk. Banyak media yang berguguran, baik cetak, televisi, online dan berbagai macam lainnya. Semua memiliki alasan yang sama, tidak mampu lagi cetak, terbit atau tayang.
Kini, dengan tema “Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat” tentu banyak hal yang akan dituntut. Apakah betul seperti yang sering disampaikan komisioner KPU dan Bawaslu, kalau media akan terbantu saat Pemilu 2024. Karena, negara yang akan membiayai kampanye partai, para caleg dan Capres melalui media.
Meskipun KPU dan Bawaslu berbicara seperti itu, pada kenyataannya nanti, hanya segelintir media yang akan mendapatkan “jatah” iklan dari negara via KPU itu. Karena, untuk mendapatkannya, media harus tergabung dengan vendor atau perusahaan-perusahaan yang bisa mengikuti tender atau pengadaan di KPU. Dan media akan terpecah-pecah. Sebagian dukung ini, bagian lain dukung itu, bagian lain tak tahu-menahu.
Bagi media yang beruntung, vendor yang didukungnya menang, maka dapatlah dia kue iklan kampanye itu. Kalau tidak, tentu tidak akan dapat apa-apa. Sementara para reporter harus bolak-balik ke KPU melihat perkembagan terkini, tentu harus gigit jari juga. Perusahaannya tidak mampu memberikan apa-apa. Hal itu telah terjadi berkali-kali, baik saat Pileg, Pilpres atau Pilkada.
Kini, entah bagaimana cara pers untuk merdeka jelang Pemilu 2024, kalau kesejahteraan para pekerja pers masih jauh dari baik. Mereka tentu akan mudah tergiur dari rayuan para pengurus partai, caleg, atau timses Capres-Cawapres untuk membuat terkenal. Meski kadang dengan bayaran yang rasanya tidak logis, kata lain dari tidak manusiawi.
Banyak di antara para pemain politik yang memanfaatkan pers untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas mereka saja. Tapi, tidak sedikit pula yang seperti memaksa pers berperan untuk “memperkeruh” suasana, ketimbang menyejukkan Indonesia jelang pencoblosan. Media pun seperti terbelenggu dengan kepentingan-kepentingan berbagai pihak.
Belum lagi keluhan banyak pihak soal masih adanya politisi yang mendirikan media, atau bos media yang menjadi politisi. Sisi jurnalisme dan politik seperti telah menyatu dan tidak bisa lagi terpisahkan. Apalagi kembali membuat garis api antara bisnis dan jurnalistik. Semua telah bercampur-baur, tidak ada yang bisa dikeluarkan dengan bersih, carut-marut dan tumpang-tindih.
Sejumlah media kini seperti sedang “digenjot” untuk memastikan partai atau bosnya semakin dikenal masyarakat. Tidak memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan hal yang serupa. Karena pasti akan dikenakan biaya yang super besar, agar mundur teratur. Pembiaran ini sudah terjadi sejak lama, dan sudah ada di beberapa Pemilu sebelumnya.
Kini, jelang Pemilu 2024, kalau memang semua mau berbenah, harusnya masih bisa. Dibuatkan aturan, agar para bos media tidak bisa semena-mena menerbitkan iklan partai atau calon mereka saja. Tapi harus berprinsip keadilan. Itu pun kalau media ini masih bisa dikategorikan sebagai pers atau dunia jurnalis. Kalau tidak, ya tidak akan terjadi perubahan apa-apa. Semua akan kembali seperti semula, setelah “demam” HPN di Medan hilang, lesap, lenyap minggu depan.
Karena, meski temanya soal demokrasi, HPN tetap diselenggarakan dengan kegiatan pameran pers dan media yang diikuti oleh sejumlah pers nasional, media, dan pendukung lainnya. Konvensi nasional media massa, penyerahan anugerah jurnalistik dan pers, bakti sosial, serta hiburan rakyat. Semoga benar-benar ada keputusan yang bisa menjaga kemerdekaan pers dalam pesta demokrasi.
Kalau tidak, ya tahun 2024 lima hari jelang pencoblosan, kita peringati lagi HPN yang sama. Begitu seterusnya. Dunia pers akan selalu terkungkung dalam kepentingan-kepentingan manusia-manusia penunggang demokrasi. Para pekerja pers akan terus menjadi “budak-budak” pemilik modal dalam industri pers. Dan tidak akan ada kemerdekaan pers seperti yang dicita-citakan itu. Pers akan selalu menjadi pers yang sama, dari masa ke masa.
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, pahlawan nasional dan pemimpin Sarekat Islam (1882-1934) pernah berujar, “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.” Sebuah perkataan yang membuat posisi wartawan tinggi, karena menjadi syarat jika ingin jadi pemimpin besar. Namun hari ini, wartawan harus berbicara seperti orator. Kalau tidak, nasib mereka akan susah. Jangankan untuk kemerdekaan pers, merdeka ekonomi saja masih jauh. (Wartawan Utama)