Oleh: Reviandi
Beberapa bulan lagi jelang Pemilihan Umum (Pemilu), sistem yang akan dipakai belum juga jelas. Meski KPU telah menegaskan sebelum ada perubahan atau putusan Mahkamah Konstitusi (MK), maka sistem yang dipakai masih terbuka. Sama seperti Pemilu sebelumnya sejak tahun 2009.
Tapi, hal itu tak membuat para bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) tenang. Mereka masih grasak-grusuk sampai ditetapkannya sistem terbuka atau tertutup. Dampaknya, nomor urut satu dan dua menjadi incaran utama para Bacaleg. Bahkan, sampai beredar informasi para Bacaleg mau membayar puluhan sampai ratusan juta untuk nomor urut itu.
Pasalnya, jika sistem pemilu kembali tertutup seperti 1999 dan 2004, maka peluang memenangkan kursi itu hanya pada nomor urut kecil. Rata-rata partai politik hanya menempatkan satu atau dua calon saja pada satu daerah pemilihan (Dapil). Artinya, peluang nomor tiga ke bawah sangat berat atau tertutup.
Ruetnya lagi, para hakim MK masih belum juga mengeluarkan kepastian kapan putusan ini. Gugatan yang sudah cukup lama ini masih juga mendengarkan ahli dan para kader politik. Semakin hari semakin banyak, seakan tak ada akhirnya.
Barulah beberapa hari lalu Wakil Ketua MK Prof Saldi Isra memberikan gambaran, kalau pemeriksaan-pemeriksaan sudah selesai. Kemungkinan dalam waktu dekat putusan bisa disampaikan. Kalau benar segera, apalagi pekan depan, hal ini akan menjadi kabar baik. Agar ada kepastian soal sistem Pemilu ini, terbuka atau hanya memilih logo partai saja.
Selain sistem Pemilu yang masih belum pasti, keruwetan juga terjadi pada beberapa hal lain. Seperti bagaimana partai politik mendapatkan dana operasional. Banyak beredar informasi yang didapat, dana yang dikorupsi oleh para pelaku, kemungkinan mengalir ke partai politik.
Termasuk yang teranyar, dugaan korupsi pembangunan BTS Bakti Kominfo yang menyebabkanSekjen Partai NasDem Johnny G Plate jadi tersangka dan ditangkap. Dana yang diduga dikorupsi mencapai Rp8 triliun yang disebut-sebut juga sampai kepada partainya Menteri Kominfo RI ini.
Secara resmi, keuangan partai politik diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Dalam Pasal 34, disebutkan bahwa keuangan partai politik bersumber dari tiga hal, yakni iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Sumbangan tersebut dapat diterima dari perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART, perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai Rp 1.000.000.000 per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran dan perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp 7.500.000.000 per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.




















