Jangan Penjarakan Wartawan

Oleh: Reviandi

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) ternyata masih gugup bertemu wartawan. Apalagi kalau dihadang doorstop oleh pemburu berita saat di lapangan atau di Istana Negara sekalipun. Cukup aneh, karena Jokowi sudah menjadi pejabat publik sejak 2005 saat menjabat Wali Kota Surakarta/Solo. Pernah pula jadi Gubernur DKI Jakarta. Harusnya, dia sudah santai dan “khatam” dengan jurnalis.

Pernyataan itu terungkap saat Pak De berpidato pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2020 yang digelar di Kawasan Perkantoran Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, Kota Banjarbaru, Sabtu (8/2). Acara memang dipercepat sehari dari HPN, 9 Februari, karena akan terbang menuju Canberra, Australia. Jokowi benar-benar memuji pers, bahkan meminta dibuatkan draf perlindungan tugas dan dunia pers.

Menarik mengkaji ucapan Jokowi itu, meski dia kerap menghindar atau kabur saat diwawancarai untuk isu, kasus-kasus berat atau yang menghebohkan di tengah masyarakat. Tak jarang juga menyerahkan pertanyaan ke Menteri atau pihak-pihak yang berwenang. Kata-katanya yang sering keluar adalah, jangan tanya saya, kok tanya saya, tanya si anu dan sejenisnya.

Poin dari cerita itu adalah, Jokowi begitu sadar pentingnya pers untuk tugas-tugasnya sebagai Presiden dan membantu sosialisasi pembangunan. Meski kadang, lingkaran orang-orang di sekitarnya membuat “wajah” Jokowi terlihat buas kepada media. Tak sedikit yang dilaporkan, bahkan ada yang sampai diperiksa, divonis dan dipenjarakan. Namun, tak ada yang benar-benar langsung terkait dengannya. Setidaknya bisa terlihat tak bengis pada media.

Jelang Pilgub Sumbar seharusnya insan pers juga meminta komitmen dari para calon agar tak mengganggu atau merusak tatanan kebebasan pers yang sudah ada. Jangan beri kesempatan orang-orang yang punya rekam jejak bermasalah dengan pers. Apalagi sampai menghalang-halangi tugas mulia yang dilindungi Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Juga mereka yang berpotensi menjadikan pers hanya kendaraan untuk berkuasa, dan bisa berbalik arah saat menjabat.

Karena, sepanjang 10 tahun terakhir masih banyak terjadi “sengketa” antara jurnalis dan pejabat di Sumbar. Bahkan, ada yang dilaporkan, diperiksa, disidang, sampai divonis. Padahal, kalau dirunut, masalahnya tidaklah berat dan dapat diselesaikan dengan baik. Mungkin cukup dengan klarifikasi, hak jawab atau permintaan maaf dan sejenisnya. Bukan malah melaporkan dengan pasal-pasal pidana, bukan mengacu pada UU Pers atau Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Ada Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bisa menjadi tempat mengadu pejabat yang merasa resah dengan hasil kerja jurnalistik. Tentunya, dua lembaga itu akan serius menyelesaikan masalah para pejabat, dengan berada di tengah-tengah. Tidak berpihak pada media, atau pejabat. Tapi tegak di kebenaran jurnalistik itu sendiri. Kalau salah ya salah, tidak ya tidak.

Satu lagi, Gubernur, Bupati atau Wali Kota berikutnya di Sumbar ini, jangan sampai orang yang berpotensi atau pernah menjadikan powernya untuk memberangus industri pers. Misal, dikritik sedikit, langsung putus kontrak kerja sama, baik media cetak, online atau elektronik. Pilihlah mereka yang meminta dikritik pers, agar pembangunannya berjalan baik. Agar pekerjaannya benar-benar tuntas dan bermanfaat bagi masyarakat. Bukan berpuas diri karena sudah dijilat kiri kanan atas bawah oleh bawahannya. Para kepala OPD yang masih menganut paham ABS, asal bapak senang.

Jadi, masih ada waktu untuk melihat dengan lebih realistis, siapa kira-kira calon pemimpin yang tak alergi wartawan. Tak akan melaporkan wartawan karena berita. Tak akan memenjarakan wartawan. Kalau masih ada potensi-potensi itu, sebaiknya pikir lagi. Janganlah kerja sama, kontrak, dan iming-iming pada perusahaan media membuat pers kalap. Malah menjadi senjata makan tuan saat sang kandidat menjabat. Selamat hari pers nasional, waspadalah! (wartawan utama)

Exit mobile version