Oleh: Fajri Hidayat
(Pengamat Perumahan, ASN di UIN Imam Bonjol Padang)
Di tengah ancaman penyebaran cepat pandemi Covid-19 yang masih mengkhawatirkan hingga semester kedua tahun ini, rumah ideal semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Di samping sebagai tempat berlindung dan bermukim, sekarang rumah juga berfungsi sebagai kantor dan sekolah.
Lebih-lebih saya dan istri, misalnya, yang dalam keseharian sama-sama bekerja sebagai pegawai negeri, hikmah ‘kembali ke rumah’ ini begitu terasa. Kami yang dalam keadaan ‘normal lama’ biasanya selama lima hari berada di luar rumah sepanjang siang, bahkan sampai malam, sekarang menjadi lebih sering berada di dalam rumah karena kantor menerapkan work from home (WFH) dua atau tiga kali dalam sepekan. Ini menjadi lebih terasa saat anak tertua kami yang masih duduk di sekolah dasar pun diwajibkan mengikuti pelajaran sekolah secara daring dari rumah.
Sejak dua tahun belakangan, kami mengontrak rumah di sebuah perumahan yang padat di tengah kota. Meskipun lumayan luas yang memungkinkan kami menataulang dengan menyediakan satu sudut ruangan sebagai ruang kerja, namun rumah ini memiliki sirkulasi udara yang kurang baik. Betapa tidak, di kanan-kiri, serta belakang dinding rumah ini berbatasan langsung dengan dinding rumah-rumah tetangga. Di tiap gang minimal terdapat 20 unit rumah yang disusun berdempet-dempet. Ini juga menyebabkan sistem pencahayaan menjadi tidak efisien, karena pada siang hari pun kami harus menyalakan lampu.
Sementara itu, di bagian luar, hampir semua rumah di sini dirancang tidak memiliki garase. Padahal hampir semua warga komplek memiliki minimal satu mobil. Maka, tak pelak lagi, di pinggir jalan gang-gang di komplek ini pun tiap hari penuh dengan mobil yang terpaksa di parkir pemiliknya di luar rumah. Selain itu, ketika musim hujan datang, kawasan komplek ini pun sering direndam banjir karena tidak memiliki saluran air yang memadai.
Oleh karena ketidaknyamanan tersebut, kami pun mulai mengancang-ancang membangun rumah baru untuk masa depan. Rumah pertama yang dirancang sedemikian rupa dari awal agar sesuai dengan standar atau kaidah-kaidah rumah sehat. Untuk itulah, sejak beberapa bulan terakhir, sejak kabar tentang virus corona mulai serius mewabah, saya mulai mencari lokasi-lokasi yang tepat untuk membangun rumah baru. Selain itu, saya menjadi rajin melakukan riset sederhana dengan cara mengakses situs-situs di internet yang memuat advertorial ataupun iklan-iklan perumahan. Mulai dari website yang memang khusus berisi informasi penjualan rumah, media online dan cetak, hingga situs jejaring sosial.
Peranan pemerintah menyediakan rumah
Kondisi seperti di atas, tentu bukan terjadi pada keluarga saya saja. Ada jutaan keluarga Indonesia yang hari ini sedang memimpikan memiliki rumah sendiri. Baik yang saat ini mengontrak, tinggal dengan mertua/orang tua atau famili lainnya, maupun yang menyewa bulanan. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2018 saja terdapat 67,9 juta rumah tangga di seluruh Indonesia, dan 20 persen atau 13,6 juta di antaranya belum memiliki rumah. Dengan rata-rata pertambahan keluarga baru sebesar 780 ribu per tahun, maka pada pertengahan 2020 ini, jumlah itu diperkirakan telah meningkat menjadi 13,7 juta. Artinya, bila rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 4 orang, berarti sekitar 55,1 juta orang Indonesia sekarang belum punya rumah. Bagaimana pemerintah menghadapi masalah ini?
Menurut informasi dari situs resmi Direktorat Jenderal Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, salah satu upaya pemerintah adalah dengan membuat sebuah kebijakan strategis bertajuk Program Sejuta Rumah (PSR). Program ini sudah dimulai sejak awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, tepatnya tanggal 29 April 2015 (Perjalanan Lima Tahun Program Setuja Rumah, 2019).
Melalui PSR, pemerintah menargetkan untuk membangun sejuta rumah pertahun, guna mengurangi backlog/defisit perumahan yang waktu itu berdasarkan data BPS (2014) berjumlah 11,4 juta unit. Namun, bukan berarti ini program bagi-bagi rumah; melainkan usaha dalam menggerakkan para stakeholder bidang perumahan yaitu pemerintah (Kementerian PUPR dan K/L lainnya), pemerintah daerah, pengembang, dunia usaha (dalam bentuk corporate social responsibility/CSR), serta masyarakat, dalam rangka percepatan penyediaan hunian layak bagi masyarakat. Baik itu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun Non-MBR.
Progres dari program tersebut lumayan menggembirakan, jika dilihat hasilnya selama lima tahun (2015-2019). Meski pada akhirnya hanya tercapai 96 persen, yaitu 4,8 juta unit dari 5 juta unit yang direncanakan, namun pencapaian pada dua tahun terakhir melebihi target pertahun. Berturut-turut capaian tersebut adalah: pada 2018 tercapai 113 persen atau 1.132.621 unit; dan pada tahun 2019 tercapai 126 persen atau 1.257.852 unit.
Sebab terbilang sukses, maka program ini pun dilanjutkan untuk periode ke II, 2020-2024, namun dengan target yang lebih rendah yaitu 3,9 juta unit. Informasi terakhir, rumah yang telah selesai dibangun dalam periode kedua ini per 11 Mei 2020 berjumlah 215.662 ( pu.go.id, 26 Mei).
PSR saja tidak cukup
Meski PSR Tahap I terbilang berhasil, namun tentu saja belum mampu menutupi kekurangan rumah. Dapat dilihat, bahwa di akhir 2019, angka kekurangan rumah malah meningkat dari 11,4 juta menjadi di atas 13 juta unit. Ini tentu wajar, sebab dipengaruhi tingkat pertambahan keluarga baru sekitar 780 ribu pertahun. Minimnya anggaran menjadi kendala utama dalam usaha penuntasan backlog perumahan tersebut. Kondisi APBN kita hingga kini tidak memungkinkan untuk menuntaskan permasalahan ini secara komprehensif dengan segera.
Pun demikian, kita tentu mengapresiasi kebijakan-kebijakan yang telah dibuat pemerintah. Artinya, sebagaimana seharusnya, negara telah berusaha hadir dalam urusan perumahan rakyat ini.
Untuk meningkatkan pencapaian ini, perlu dikaji bentuk-bentuk kebijakan baru lain yang mampu menyegerakan penyediaan rumah bagi masyarakat yang tidak melulu terkendala keterbatasan anggaran pemerintah. Peranan seluruh pemangku kepentingan yang lain secara bersama-sama sangat dibutuhkan untuk membantu tugas berat pemerintah ini. Tugas yang diemban sebagai perwujudan dari amanat UUD 1945 pasal 28h ayat (1) yang pada intinya menyatakan bahwa setiap orang berhak bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Rumah ideal di era normal baru
Di hari-hari mendatang, pekerjaan pemerintah pun akan semakin berat. Dalam kondisi ketidakberdayaan anggaran untuk menambah jumlah rumah yang kebutuhannya tiap tahun meningkat, pemerintah juga dituntut untuk menyediakan rumah yang lebih ideal. Artinya, sekarang tidak cukup lagi menargetkan penurunan backlog, namun harus dibarengi dengan peningkatan kualitas rumah yang dibangun, terutama dalam aspek kesehatan. Ini tentu saja untuk mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat di era normal baru.
Sebagaimana diketahui bersama, bencana Covid-19 telah merubah banyak hal dalam hidup kita, bahkan di seluruh dunia. Kebutuhan akan peningkatan penjagaan kesehatan mutlak diperlukan. Belajar dari apa yang terjadi selama pandemi, jika satu orang terjangkit virus, maka dipastikan akan ada orang-orang lain yang akan tertular. Baik keluarga, rekan sekantor, teman-teman dekat, maupun orang lain yang tidak dikenal namun sempat berinteraksi dengan orang yang terjangkit tersebut. Lalu, orang-orang yang tertular itu pun berpotensi menularkan lagi kepada orang-orang lain. Begitu seterusnya.
Oleh karena itu, kriteria rumah sehat sebagaimana sudah banyak distandarkan di beberapa regulasi, baik oleh Kementerian Kesehatan maupun PUPR, perlu direvisi. Sejumlah kriteria harus ditambahkan, agar sesuai dengan kebutuhan pada era normal baru. Misalnya dengan penyediaan ruang kerja dan tempat belajar yang nyaman di dalam rumah, serta adanya alat pencuci tangan pakai sabun di tiap-tiap fasilitas umum di komplek perumahan.
Dari segi desain dan tata letak, saya menyarankan pemerintah tidak lagi mengizinkan pengembang membangun rumah berdempet tiga (kiri, kanan, dan belakang) seperti yang banyak terdapat di komplek-komplek perumahan saat ini. Di masing-masing rumah harus dirancang jarak yang memungkinkan ditanamnya barisan pohon untuk memproduksi oksigen lebih banyak.
Ini juga dimaksudkan agar tiap-tiap rumah memiliki jendela dan ventilasi yang cukup. Telah terbukti bahwa sistem cahaya dan sirkulasi udara yang buruk, berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Bukan hanya tentang virus corona, tapi juga kemampuan daya tahan tubuh kita dalam jangka panjang. Belum lagi, soal kualitas pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga yang sampai kini sering menjadi kendala di perkotaan. Semuanya bermuara pada peningkatan kualitas kesehatan. Rumah dan perumahan yang benar-benar sehat.
Saya berpendapat, bahwa dampak kebijakan era normal baru ini bukanlah musiman, atau selama pandemi belum berakhir saja. Kesadaran tentang kesehatan akan terus meningkat dari hari ke hari. Pandemi mengajarkan kepada kita tentang efek domino dari penurunan kesehatan masyarakat, yang ternyata bisa berakibat fatal kepada perekonomian negara. Dari segi individu, tingkat kesehatan yang buruk telah menyebabkan ketidaktenteraman bahkan terbelenggunya kemerdekaan kita sebagai manusia, karena butuh banyak dibuat aturan mengikat yang sebelumnya bahkan tak pernah terpikirkan.
Melalui PSR dan/atau program sejenis lain yang mungkin akan dirancang, pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi penyediaan rumah dan perumahan ideal bagi era normal baru. Setidaknya dengan terus meningkatkan peranan dalam meng-upgrade regulasi tentang standar minimal rumah dan perumahan sehat, serta melakukan pengawasan secara rutin kepada hasil kerja pengembang swasta.
Jangan sampai, pengembang berkreasi sendiri dengan mengutamakan keuntungan semata, tanpa memikirkan tingkat manfaat, kenyamanan, dan kesehatan rumah yang dibangun. Pengembang juga diharapkan terus berinovasi dalam merancang desain rumah baru dengan mempertimbangkan tidak hanya kenyamanan namun juga kesehatan.
Sementara itu, pemerintah daerah tentu harus berperan lebih dalam mempermudah regulasi terkait pengurusan pembangunan perumahan, baik terkait izin-izin maupun penyediaan lahan, agar harga rumah tidak makin liar. Tentu saja agar orang-orang seperti saya, dan 50 juta lebih orang Indonesia lainnya yang hari ini belum punya rumah, dapat segera menikmati rumah baru yang ideal dengan harga terjangkau. (*)