Oleh : Jimmi Syah Putra Ginting
Beberapa waktu belakangan ini, mendadak Sumbar jadi perbincangan, berawal dari munculnya Injil berbahasa Minangkabau di aplikasi google play store. Atas kegelisahannya, Ketua MUI Sumbar segera menyampaikan hal tersebut kepada Gubernur Sumbar. Tanpa menunggu lama, Pemprov Sumbar menyurati Kementerian Kominfo RI agar injil tersebut dicabut dari google play store. Alhamdulillah sampai disini, pada dasarnya tidak ada masalah khusus. Selesai.
Kemudian di media sosial menjadi ramai, diawali dengan pernyataan Bapak Ade Armando (ijin menyingkat menjadi: AA) di facebook-nya yang memposting pendapatnya “Lho ini maksudnya apa? Memang orang minang gak boleh belajar injil ? Memang orang minang gak boleh beragama kristen? Kok Sumatera Barat jadi terbelakang seperti ini sih ? Dulu kayaknya banyak orang pintar dari Sumatera Barat. Kok sekarang jadi lebih kadrun dari kadrun ?”.
Postingan tersebut mendapat reaksi dari pemuka masyarakat minang, termasuk juga warganet, maupun pemuka adat yang bergabung dalam Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari (Bakor KAN) dan Mahkamah Adat Alam Minangkabau (MAAM) melaporkan AA ke Polda Sumbar karena dinilai mencemarkan dan menghina nama baik masyarakat Minangkabau. Terbaru, Bapak Dr. H. Gamawan Fauzi, S.H., M.M. Datuk Rajo Nan Sati, yang pernah jadi Mendagri Era SBY, menulis di media dan mengingatkan AA agar dapat meminta maaf dan meminta masyarakat minang memaafkan AA.
Mencermati itu, penulis mencoba menyelami apa sesungguhnya yang menimbulkan kemarahan bagi orang minang berkaitan dengan postingan AA:
1. AA menulis “Memang orang Minang gak boleh belajar injil ? Memang orang minang gak boleh beragama kristen?”. Beliau mungkin mengabaikan falsafah ABS SBK SMAM yang telah menjadi pegangan etnis minang sejak dahulu kala. Orang minang 100% beragama Islam, jika ada masyarakat minangkabau keluar dari agama Islam, secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minangkabau. Sehingga tidak perlu ada Injil berbahasa Minangkabau.
2. AA menulis “Kok Sumatera Barat jadi terbelakang seperti ini sih ? Dulu kayaknya banyak orang pintar dari Sumatera Barat.”.Menyebut Sumbar terbelakang menurut saya keliru, karena Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumatera Barat lebih tinggi daripada IPM rata-rata Indonesia. Di tahun 2019, berdasarkan data BPS, IPM Sumbar diangka 72,39 sedangkan rata-rata nasional diangka 71,92. Jadi dimana letak terbelakangnya ? Dengan demikian, benar dulu banyak orang pintar dari Sumbar, sekarang juga demikian. IPM adalah indikatornya.
3. AA menulis “kok sekarang lebih kadrun dari kadrun ?”. Kata Kadrun mungkin candaan bagi sebagian orang, namun tidak bagi sebagian yang lainnya. Bagi pemuka minangkabau kemungkinan ini menyakiti, sebab Sumbar pernah menjadi basis perlawanan terhadap PKI. Dan dulu, Kadrun pernah menjadi kata sindiran tokoh PKI terhadap tokoh Islam.
Di Minangkabau, ada karih (keris) yang merupakan salah satu komponen penting dalam pakaian adat penghulu, yang secara khusus hanya dikenakan oleh penghulu beserta busana adat lainnya. Dikenakan saat ada upacara adat maupun saat pengangkatan penghulu di satu kaum. Keris adalah benda biasa, namun sebagai sebuah instrumen dalam adat, maka padanya ada terkandung makna filosofis yang menjadi kewajiban bagi yang mengenakannya.
Di antaranya bentuknya bengkok dua setengah patah, lurusnya menahan tilik, mata keris yang tajam kedua belahnya bermakna bersifat adil kalau menghukum, tidak berkiri-kanan, tidak berpihak “tumbuah diperut tidak dikempiskan dan tiba di mata tidak dipicingkan” yang berarti pula bila menghukum, hukumlah yang seadil-adilnya, tidak memandang karib, tiba disalah di hukum tiba di utang dibayar.
Di samping itu, keris diselipkan di pinggang sebelah kiri bagian depan, yang mana kalau akan dicabut dengan tangan kanan ada waktu untuk berfikir “dikesong mangko dicabuik”. Bermakna bahwa keris tidak boleh dikeluarkan dari sarungnya asal-asalan saja, tetapi membutuhkan pertimbangan yang matang selum dikeluarkan apalagi digunakan untuk mengikis miang di kampung dan penarah yang bengkok seruas.
Pada waktu pengangkatan penghulu, keris diselipkan oleh orang yang tuakan dalam kampung ke pinggang penghulu. Pada saat yang bersamaan biasanya di daerah tertentu ada sumpah setia yang diucapkan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai penghulu. Ada yang menyebutkan sumpah tersebut dengan istilah sumpah “biso kawi”.
Seorang calon penghulu bersumpah demi Allah berikut kalimat selanjutnya, yang jika dilanggar maka akan terkena kutukan/sanksi sebagaimana pepatah adat di minangkabau “ka ateh indak ba pucuak, ka bawah indak ba urek, di tangah dilariek (digiriek) kumbang”. Saya membayangkan, jika datuak atau penghulu yang memegang jabatan pemerintahan di Minangkabau, pasti dipundaknya juga ada beban untuk menjaga pranata adat tetap terjaga.
Sebagai contoh saat ini, Gubernur Sumbar dipegang oleh Datuak IP, apabila mengabaikan masukan Ulama perihal “Injil berbahasa Minang”, maka mungkin tercorenglah ia sebagai penghulu. Di Sumbar ini berkelindan antara adat dan agama. Sehingga siapapun pemimpin formal disini berkewajiban menjaga pranata adat dan agama di samping aturan formal negara yang memang pada dasarnya juga tidak boleh mengabaikan nilai adat dan agama.
Oleh karenanya, sebab telah ada aduan kelompok masyarakat ke Polda Sumbar, maka saya mohon izin urun rembuk dan berpendapat agar kita berikan kesempatan penegak hukum untuk memproses dengan seadil-adilnya. Sampai adanya kesimpulan, salah atau tidak postingan AA. Di tahun 2015 pernah ada oknum tertentu yang menyebut Sumbar Provinsi Dajjal. Lalu kelompok masyarakat Minang mengadukan ke aparat penegak hukum. Kita perlu adanya kepastian, melanggar hukum atau tidak. Ini sangat penting agar dikemudian hari kita semua bisa berbenah dan hati-hati mengomentari hal-hal yang prinsip bagi saudara di sekitar kita.
Sekiranya masalah ini tidak ditanggapi apakah kita mau seperti orang yang terkena biso kawi, seolah tidak bisa lagi berpikir dan bertindak ketika kehormatan tanah beradat ini dihina. Atau sebaliknya kita yang punya kuasa untuk menegakkan hukum juga terkena biso kawi, karena ketika bisa berbuat untuk menegakkan keadilan, keris dipinggang tidak bisa dicabut, dan lebih buruk adalah keris yang dipinggang justru yang melukai diri kita sendiri.
Kalau sekiranya boleh bersaran, kepada warganet pun kiranya tidak salah jika tidak terus-terusan membahasnya, apalagi ada potensi jika keliru memilih diksi dalam menanggapi di media sosial khususnya, berpotensi juga dituntut dengan UU ITE. Adapun sesama Muslim, saling memaafkan sangatlah baik. Filosofi Keris perlu diterapkan dalam kasus ini. (Komisoner KPID Sumbar)
Komentar