Ujaran dugaan rasisme yang dilakukan Ambroncius Nababan nampaknya berbuntut panjang, terbukti dengan terseretnya Permadi Arya atau Abu Janda atas dugaan rasisme yang juga ditujukan kepada mantan komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai.
Sebagaimana diketahui, Abu Janda dikecam atas cuitan melalui akun twitternya @permadiaktivis1
“…sudah selesai evolusi belum kau?”. Kalimat yang berujung viral tersebut ditujukan kepada Natalius Pigai usai menyindir eks Kepala Badan Intelijen Negara, Jenderal Hendropriyono, soal pembubaran FPI.
Orkestrasi Isu.
Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya Series on Disruption #MO menjelaskan bahwa setiap yang terjadi pada era teknologi 4.0 adalah sebuah orkestrasi. Beberapa pihak dengan kepentingan tertentu memobilisasi masyarakat sedemikian rupa hingga menciptakan suatu orkestrasi isu. Isu inilah yang kemudian muncul dalam bentuk trending di berbagai platform media sosial.
Tujuan orkestrasi ini beragam, namun yang paling mainstream adalah untuk mengalihkan perhatian masyarakat. Trending topic #TangkapAbuJanda melalui twitter boleh jadi merupakan suatu bentuk pengalihan isu. Kita bisa melihat ke belakang, kira-kira isu apa yang juga tak kalah hangat, namun seakan-akan teredam oleh seorang Abu Janda. Luar biasa bukan?
Di sisi lain, tak dipungkiri juga masyarakat mulai lelah. Penat dihadapkan dengan serangkaian polemik di negeri ini. Seperti penanganan pandemi covid-19 yang selalu kritik-able, kecurigaan terhadap elit politik yang terlibat dalam korupsi dana bansos, bencana banjir yang disinyalir disebabkan kerusakan hutan, dan sebagainya. Hingga akhirnya, seperti mendapat momentum atas kasus yang menimpa Ambroncius Nababan, masyarakat ter-trigger untuk menjadikan Abu Janda sebagai samsak kemarahan.
Sosok yang selama ini dinilai sering memicu keretakan dalam kerukunan umat beragama, ujaran kebencian, serta pemicu perpecahan. Sosok yang entah bagaimana masih bebas kesana-kemari meski sudah dilaporkan beberapa kali dalam kasus berbeda, seperti pencemaran nama baik, penghinaan terhadap agama, dan terakhir dalam kasus rasisme.
Kakak dan Adik
Mari sejenak kita kembali ke masa kanak-kanak. Beberapa dari kita mungkin sering melihat, atau bahkan mengalami sendiri. Bagaimana seorang kakak yang merasa lebih berkuasa dari pada adiknya.
Sementara si adik tak kalah pintar, seringkali ia memanfaatkan statusnya sebagai si kecil agar orang tua memarahi si kakak ketika mereka bertikai. Kira-kira seperti inilah perselisihan mayoritas-minoritas di negeri ini, saat ini.
Pergesekan antara mayoritas dan minoritas di Indonesia saat ini bagaikan pertikaian kakak dan adik. Seorang kakak karena posisinya, beranggapan lebih kuat dan berkuasa daripada si adik. Ia merasa bebas untuk membatasi pergerakan dan kemauan si adik di dalam rumah. Karenanya beberapa kali terdengar di telinga kita terjadi tindakan-tindakan intoleransi seperti pencekalan pembangunan rumah ibadah, pembubaran kegiatan-kegiatan tertentu, dan lain sebagainya. Di sisi lain, si adik yang merasa terintimidasi mengadu pada orang tua. Wajar saja sebenarnya, karena mengadu adalah bentuk upaya si adik untuk mendapat keadilan.
Melihat fenomena seperti ini, lahirlah sosok seperti Abu Janda. Berperan sebagai sepupu, yang tidak terima akan diskriminasi dan intoleransi yang diterima si adik.
Maka mulailah si sepupu untuk mendukung si adik, membantu si adik memperoleh keadilan di hadapan orang tuanya. Seiring berjalannya waktu, orientasi si adik mulai berubah. Ia ingin perhatian dan kasih sayang orang tua sepenuhnya tertuju padanya. Karenanya Ia mulai berani mengganggu si kakak, menantangnya, dan tidak lagi menghormatinya. Sepupu yang berpihak pada si adik kemudian bersama-sama menyusun narasi-narasi yang membuat orang tua membenci si kakak. Inilah yang menjengkelkan. Sebuah perbuatan yang boleh jadi memicu perpecahan dalam kerukunan berumah tangga. Perlahan namun pasti, jika hal ini dibiarkan, maka keretakan adalah keniscayaan.
Di sinilah peran penting Pemerintah selaku orang tua dalam rumah tangga nusantara. Pemerintah beserta perangkatnya harus mampu menjadi perangkul bagi 270 juta lebih ragam rakyatnya. Pemerintah bertanggungjawab atas rasa keadilan yang diterima masyarakatnya. Rasa keadilan, yang salah satunya dibuktikan dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Komitmen seperti inilah yang harusnya dipertontonkan Pemerintah kepada warganya. Agar tidak ada lagi yang berkata, di negeri ini memang banyak pengadilan, namun tidak satupun yang menawarkan keadilan.
Tak cuma Pemerintah, umat muslim pun harusnya mulai melakukan muhasabah. Boleh jadi sebagai kakak, seakan-akan memaksakan kehendak kepada si adik. Boleh jadi nilai-nilai dakwah yang diajarkan, tidak disampaikan dalam bahasa yang santun dan adab mulia. Bukankah yang membuat Rasulullah Muhammad SAW diikuti adalah sebab akhlaknya yang mulia? Bukankah mereka yang tidak saudara dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan?
Sejalan dengan itu, adik pun juga harus berbenah diri. Mulai lah menghormati si kakak karena kedudukannya. Meninggalkan narasi-narasi provokasi. Bersama-sama menjalin persaudaraan. Hingga akhirnya, yang tersisa adalah mayoritas yang menyayangi minoritas, dan minoritas yan menghargai mayoritas. (***)
Komentar