Menarik bagaimana peradaban mengalami pergeseran yang sedemikian banyak dalam banyak aspek kehidupan. Mulai dari aspek sosial, ekonomi, politik dan tentunya pemerintahan. Barangnya mungkin sama, tetapi pelaksanaannya sudah begitu berbeda.
Dalam hal demokrasi, juga demikian. Terutama di Indonesia. Demokrasi yang mengedepankan musyawarah mufakat yang dirumuskan ketika negara ini berdiri, telah mengalami pergeseran menjadi demokrasi mayoritas dan popularitas. Sehingga setiap keputusan yang diambil saat ini sangat tergantung kepada jumlah angka siapa yang lebih besar di akhir voting. Apakah itu 1 lawan 499, atau 251 lawan 249, nilainya sama. Hanya soal siapa menang, siapa kalah. Soal subtansi perbedaan, baik tipis atau telak tidak lagi menjadi persoalan.
Demokrasi sejatinya tidak pernah diciptakan sebagai sebuah mekanisme dimana winner takes all. Oleh karena itu perbedaan pendapat setajam apapun lumrah dalam demokrasi. Namun pada Abad 21 setidaknya terdapat variabel baru dalam lingkungan demokrasi. Yaitu penggunaan influencer sebagai pembangun opini atau persepsi publik. Hal semacam ini hampir bisa dikatakan belum pernah terjadi dalam kehidupan demokrasi sebelumnya. Influencer lazim digunakan pada penyelenggaraan pesta demokrasi, namun pasca pesta demokrasi ? Sepertinya tidak pernah.
Sebuah pemerintahan terpilih, yang kemudian menggunakan influencer dalam upaya menciptakan opini publik yang mendukung sebuah kebijakan, jelas merupakan sebuah kejanggalan. Hal semacam ini sekaligus memiliki dampak pergeseran fungsi akan sebuah profesi entertainer atau keartisan, serta lembaga perwakilan rakyat di sebuah negara.
Pertama, hal ini menunjukan bahwa selebritis tidak lagi hanya bekerja pada dunia showbiz atau seni. Namun turut menjadi agen-agen pemerintah dalam meyakinkan publik. Terlepas mereka paham atau tidak terhadap kebijakan yang mereka endorse itu.
Kedua, hal ini menunjukan bahwa lembaga perwakilan rakyat tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga peran mereka tergusur oleh seorang influencer yang memiliki jutaan followers di media sosial.
Ketiga, pemerintah bisa saja mengambil kebijakan yang tidak tepat untuk rakyat banyak (dan mereka menyadari itu), namun mereka bisa menggunakan influencer untuk membuat kebijakan tersebut terlihat yang paling tepat di mata publik. Dan semua hal ini dibayar melalui pajak yang diperas dari rakyat itu sendiri. Cukup ironis ketika anda membayar untuk diperbodoh, sementara disaat yang sama banyak anak sekolah pontang-panting menjual sapu lidi demi membeli buku pelajaran.
Masalah dibalik semua fenomena ini adalah jika kemudian kita kembali menyadari sebuah pepatah arab. Bahwa ketika sesuatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran negeri tersebut. Saya tidak bisa membayangkan jika kelak kebijakan-kebijakan penting sebuah negara hanya akan dihasilkan melalui perbincangan kepala negara dengan para influencer di meja makan.
Setidaknya, Bush tidak menggunakan Oprah untuk melegitimasi serangannya ke Irak. Seperti Macron yang tidak meminta Zidane memberi tahu rakyat Perancis bahwa membuat kartun nabi adalah sekedar kebebasan berekspresi, Atau Tony Blair yang tidak meminta Spice Girls untuk mencari dukungan publik agar membenarkan keikutsertaannya pada invasi Irak oleh kompatriotnya dari Texas itu.(Tommy TRD)
Komentar