Oleh : Ajo Wayoik
Entah angin apa, publik tiba-tiba disentakkan dengan pernyataan pamit Mak Datuak Karni Ilyas. Pamit dengan membawa serta acara yang selama ini menjadi ruang otonomnya; ILC. Kata pamit yang ia sebutkan dalam cuitan Twitter itu bagi saya tidak bisa dimaknai secara sederhana saja. Orang pamit, artinya ingin pergi. Pergi kemana Mak datuak? Negeri ini sudah sesak oleh masalah yang mengepung urang bagak lurus tabung seperti Mak Datuk. Mak Datuak tak bisa lari.
Oke, pulang ke kampung lalu berharap dapat suasana segar yang bikin otak tenang? Waduh datuk. Dimana kampungnya di negeri ini yang tenang dari gaduh politik? Tak melek politikpun, petani-petani akan mengaduhkan harga pupuk juga, amak-amak akan mengeluhkan harag sembako juga, para pemuda akan mengadukan kurangnya ruang kreatifitas juga. Mau kemana datuk?
Datuk main ke Piaman, orang akan ceritakan makam Syech Burhanuddin yang sebentar lagi bisa digesek abrasi. Mak Datuk jalan-jalan ke Bukittnggi, orang akan ceritakan kemacetan sekitaran pasa yang masih juga terjadi meski jembatan layang sudah sepanjang hangak dibentangkan untuk mengatasinya. Datuk maoncong-oncong ke Lima Puluah Kota, orang akan ceritakan ada London di lembah Harau. melalar ke Padang, Pasaman, Solok, Sijunjung, Mentawai atau kemana saja di Sumbar ini tetap akan ada masalah yang akan dikadukan orang ke Mak Datuk. Mau kemana Mak Datuk?
Maafkan saya yang sebantaran cucu Mak Datuk ini. Maksud saya menyampaikan hal diatas bukan mempertakut, tapi justru karena saya begitu mengagumi datuk. Ssekali lagi, saya tidak bermaksud mempertakut Mak Datuk hingga batal pula pulang untuk bertenang-tenang. Semoga ketakutan di dua paragraf diatas hanya ketakutan saja. Ya, saya takut, idola saya pulang untuk santai, tapi orang malah tak memberi ruang lega itu.
Saya sebagai penggemar Mak datuk, sangat berharap kata pamit itu adalah kode yang lain. Mak Datuk bilang pamit, bukan berhenti. Jadi jalan perjuangan baru mungkin sudah datuk siapkan sebelumnya. Ibarat bermamak di kampung orang, tabang basicakam, inggok basitumpu. Mamak ditinggakan, mamak dicari. Acara ditinggakan, acarapun bisa dicari kan datuk?
Mak, saya bangga dengan Mak Datuk. Saya tidak pernah melihat datuk sekalipun melepaskan keminangan Mak Datuk. Termasuk dalam mengkonsep dan menggulirkan ILC. Saya tidak lihat itu seperti talkshow atau debate show biasa. Itu indang bagi saya. INDANG TIGO SANDIANG! Makanya saya suka bilang ke teman-teman, ILC itu bukan Indonesian Lawyer Club lagi! Itu Indang Lamo Club!
Siapa bilang Mak Datuak hanya host di ILC? Kalau hanya Host, mungkin ILC sudah ditinggalkan seperti banyak acara sejenis yang pernah di bikin berbagai televisi nasional. Nyatanya, ILC tak tertandingi. Kenapa? Menurut saya, karena Mak Datuk bukan host lagi. Mak Datuk sama sekali tidak sekedar menyalurkan pandangan orang-orang. Dengan cara yang unik, pada momen yang tepat, Datuk menempatkan diri datuk sebagai bagian dari perdebatan; menyampaikan pandangan sendiri secara merdeka.
Entah sebagai kawan dari si A atau si B, yang jelas, datuk adalah si C. Artinya, Datuk bermain pula dalam konstalasi yang berlangsung. Orang saja yang sebagiannya tersilap lalu menganggap Datuk itu host.
MakDatuk pintar memancing pandangan orang, punya referensi yang cukup untuk meluruskan statemen yang bengkok, punya kartu-kartu rahasia yang kerap membuat kami tercengang-cengang, punya opini yang dapat menampar siapa saja. Mak Datuk bukan host. Mak Datuk Presiden ILC!
Dalam indang, persoalan yang awalnya hanya gunjing dikemukakan secara terbuka. Tiga kubu, tiga pula pendebat. Dalam tesis pascasarjana saya, saya berani secara ilmiah mengetengahkan bahwa Indang Tigo Sandiang adalah satu-satunya debat terbuka segitiga di dunia. Ketika tukang karang atau tukang dikia dari kelompok A berarguman, rivalnya di kelompok B bisa membalas, atau malah mendukung. Begitu juga respon rivalnya di kelompok C. Singkatnya, dalam adu argumen tiga pihak, akan sulit untuk mencari pola bipolar yang taralah tampak dalam perdebatan.
Kalau biasanya bumi lawan langit, hitam lawan putih saja, dalam ILC datuk bikin suasana jadi berbeda. Datuk sadarkan publik bahwa Ada ekosistem antara bumi dan langit, ada berjuta warna diantara hitam dan putih. Artinya ada banyak pandangan alternatif diantara dua kubu bersiteru. Kenapa hanya dengar salah satu dari dua pandangan yang jelas jelas saling menyerang itu saja. Kenapa tidak memikirkan pandangan lain yang lebih luas?
Itulah sebabnya Mak datuk selalu terlihat sebagai yang paling cerdas, paling berani, paling tegas, dan kadang-kadang juga paling lucu dari pembicara dua kubu.
Sekarang Mak Datuk bilang pamit. Ibarat dalam perjamuan makan dikampung kita tuk, kapalo rombongan bana nan maurak selo. Kami nan maikua, tentu menurut saja. Mak Datuk pamit, kami pamit. Apapun alternatif acara pengganti ILC, saya pribadi tidak akan tonton. ILC takkan tertandingi. Hanya itu ruang konfrontir paling fair Mak Datuk. Hanya itu!
Istirahatlah sebentar Mak. Hela lah nafas lebih dalam. Ada banyak tempat di kampung yang kini lagi hits untuk dikunjungi. Kalau datuk ke Piaman, ajaklah uda Muhammad Rizki Albert Satria, saya mau kawal datuk biar tak ada orang yang mengeluh menggaduh. Biar Datuk bisan tenang. Semoga dengan begitu Datuk lebih sehat. Terutama sehat secara fisik. Tapi saya mohon Datuk. Jangan berhenti. Urak selo di satu alek, kita ketemu di alek lain. Biar masuk juga kebenaran ke otak publik tuk.
Dalam ILC hnya dua hal yang bisa hentikan aksi Mak Datuk ; jeda iklan (kapitalisme) dan batas jam tayang (disiplin datuk sendiri). “Sementara dicutipanjangkan untuk waktu tak terbatas”….hehe, datuk memang tukang indang. (Dosen’s ISI Padangpanjang)