Dana Covid-19 Terindikasi Dikorupsi, Deddy Herman Surati Presiden

Deddy Herman

BUKITTINGGI, METRO–Dokter Deddy Herman yang merupakan salah seorang tim penyelamat awal saat wabah Virus Corona terjadi di Indonesia, mengirimkan surat ke Presiden RI Joko Widodo terkait permasalahan aliran dana COVID-19 di Rumah Sakit Achmad Mochtar (RSAM) Bukittinggi, Sumbar yang menurutnya terindikasi dikorupsi.
“Saya meminta perlindungan diri dan hukum kepada Presiden RI, juga menyurati perlindungan saksi dan korban ke LPSK kemudian akhirnya surat itu ditembuskan ke Kejaksaan Agung dan KPK, surat saya itu memang bersurat langsung kepada Presiden Joko Widodo,” kata Deddy Herman di Bukittinggi, Selasa (13/6).
Ia menyebutkan surat itu kemudian diterima pa­da 29 Mei dan 30 Mei 2023 dengan melampirkan ma­sing-masing satu bundel berkas pengaduan dan kronologis lengkap perihal pembayaran jasa dari dana COVID-19 di Bukittinggi.
“Saya sebagai orang yang dipercaya bertindak atas nama Nakes, Dokter, Perawat, Satpam, Clea­ning Service, bukan atas nama pribadi saya, Alhamdulillah surat saya telah sampai dari Menko Polhukam langsung ke KPK, dari Mensetneg langsung ke LPSK, kemudian dari is­tana ke Kejaksaan A­gung,” kata dia
Ia mengatakan pihak Kejaksaan Agung telah melakukan komunikasi langsung ke jajaran Kejaksaan Tinggi Sumatera Ba­rat. “Yang saya dengar bahwa Kejaksaan Agung mengingatkan Kejaksaan Tinggi untuk serius dalam kasus ini agar jangan hilang di tengah jalan,” u­jarnya.
Ia mengungkap alasan menyurati Presiden dan meminta perlindungan hukum dan saksi karena merasa adanya tekanan selama kasus dugaan pe­nyelewengan dana hingga Rp 100 miliar dari Kemenkes yang tidak dibayarkan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) dalam penanganan kasus CO­VID-19.
“Ada telpon ke saya yang minta dihubungi de­ngan bahasa menakut-nakuti, akhirnya diingatkan kepada saya untuk minta perlindungan hukum langsung ke Presiden, saya merasa diintimidasi oleh Inspektorat sebelumnya karena tidak melapor dulu ke Satuan Pengawas Internal (SPI) atau inspektorat, padahal saya sudah sejak tiga tahun lalu mempertanyakan,” katanya.
Ia juga merasa diancam akan dipindahtugaskan ke Kota Padang dan diadukan ke Dekan sebagai dosen di Kampus Unand.
Ia mempertanyakan aturan yang diterapkan oleh manajemen RSAM Bukittinggi yaitu SK-direktur nomor: 341 tahun 2021 dengan dasar Permenkes no.85 tahun 2015.
“Situasi ini adalah bentuk kekeliruan, COVID-19 adalah bencana, dan tentu peraturan yang dirujuk sesuai dengan keadaan bencana melalui KMK pe­nanganan COVID-19,” tegasnya.
Deddy juga meng­ung­kap adanya pertemuan lanjutan seluruh Nakes pada awal Februari yang mana mantan Direktur RSAM mengakui kesalahannya dalam soal pembagian uang dana CO­VID-19 itu.
“Saat itu, mantan Dirut dan dan beberapa petinggi lainnya mengakui mereka telah membuat Surat Keputusan (SK) yang sa­lah dan pembagian uang yang salah, mereka minta maaf dan saat itu juga ada usaha untuk merubah SK untuk menutupi kesalahan, saya bilang masalah ini belum selesai belum ada keputusan, ada o­rang-orang yang dirugikan dan difitnah,” katanya menjelaskan.
Deddy mempertanyakan adanya SK yang diganti beberapa kali tidak sesuai PMK dengan memperkecil bagian bagi mereka yang bekerja secara langsung kepada pasien COVID-19.
“60 persen jasa pela­yanan sesuai aturan negara diganti menjadi 40 persen, sebaliknya jasa sarana yang dijadikan 60 per­sen, saya curigai juga pergantian SK yang bisa dilakukan sesaat saja dan berbiaya Rp612 juta untuk pembuatan SK itu saja,” kata Deddy.
Menurutnya, seluruh data dari kecurigaannya itu beserta rekaman ia lampirkan dalam penga­duannya. “Saya lampirkan video rekaman saya dan bukti, hasil berikutnya saya serahkan pada Allah,” ujarnya. (pry)

Exit mobile version