Disebutkan Dedi Wandra, banyak contoh yang bisa menjadi konflik keagamaan seperti perbedaan pemahaman dalam tradisi, adat dan istiadat serta kebiasaan masyarakat, pendirian rumah ibadah, dari internal Islam sendiri misalnya aliran-aliran kepercayaan.
Gambar-gambar atau lambang dan properti suatu aliran agama bisa memicu konflik ditengah masyarakat. Penyiaran agama misalnya dalam bentuk medianya atau penyampaian dengan mengatakan doktrin-doktrin. Kegiatan perayaan keagamaan.
“Perpindahan agama, perkawinan beda agama, ujaran kebencian lisan dan tulisan, pelecehan agama melalui media sosial, sentimen keagamaan dan banyak hal lainnya,” tuturnya.
Oleh sebab itu dilakukan mekanisme penguatan, pelaporan dan pemantauan serta evaluasi. Deteksi dini menghimpun dan menganalisa informasi terkait konflik keagamaan secara dini.
Nanti ke depannya sebut Dedi Wandra, akan dilakukan beberapa langkah untuk antisipasi sejak dini terkait menghindari konflik keagamaan dengan mengundang siswa-siswa sekolah, dan kepala sekolah untuk mensosialisasikan deteksi dini konflik sosial berdimensi keagamaan.
“Melakukan dialog interaktif dan memfasilitasi, advokasi dan koordinasi kepada pihak yang berwenang, melaksanakan negosiasi dan mediasi, untuk penyelesaian konflik serta mediasi dan tindakan lain yg dianggap perlu supaya mencegah dan mendeteksi dini konflik keagamaan,” tutur Dedi Wandra. (pin)
















