AGAM, METRO–Pengurus Pondok Pesantren (Ponpes) Taajul Huffazh memberikan tanggapan mengenai dugaan tindak asusila yang melibatkan dua orang oknum santri. Pihak pondok pesantren menyatakan bahwa mereka masih menunggu perkembangan dari proses hukum yang sedang berjalan, yang melibatkan pihak kepolisian.
Fajri, salah satu pengurus Ponpes Taajul Huffazh, menjelaskan bahwa kasus ini terjadi di luar lingkup pesantren. “Kami masih menunggu proses hukum yang berlangsung. Kasus ini dilaporkan langsung ke pihak kepolisian. Jadi, kita tunggu saja hasil dari keterangan polisi, dan selanjutnya akan ada tindak lanjut dari pihak pondok pesantren,” ujar Fajri pada Jumat (9/8).
Fajri juga mengungkapkan bahwa pihak pondok pesantren terkejut dengan kejadian ini, mengingat selama ini tidak ada indikasi mencurigakan terhadap pelapor atau terlapor. “Kami tidak memiliki kecurigaan dan tidak melihat keanehan yang terlihat. Selain itu, mendeteksi hal ini sangat sulit karena tidak ada indikasi khusus,” tambahnya.
Menurut Fajri, informasi mengenai kasus ini juga diperoleh dari media sosial dan media massa yang sebelumnya telah mengunjungi pondok untuk mencari keterangan. “Kasus ini terjadi di luar pondok, dan mungkin saja mereka kabur dari pondok saat kejadian,” jelasnya.
Fajri menambahkan bahwa kasus ini dan sejumlah kasus kekerasan seksual di pesantren lain baru-baru ini berdampak pada psikologi santri dan orang tua. Untuk mengatasi hal ini, pondok pesantren tengah merancang langkah-langkah preventif. “Kami akan membentuk tim khusus yang bertugas memastikan santri tidak terganggu secara psikologis, menjalin komunikasi dengan wali murid, dan memantau perkembangan proses hukum,” katanya.
Meskipun demikian, Fajri menegaskan bahwa proses belajar mengajar di pesantren tetap berjalan normal. “Tidak ada gangguan dalam proses belajar mengajar. Beberapa orang tua memang mengunjungi kami, tetapi hingga saat ini tidak ada siswa atau wali siswa yang memutuskan untuk pindah,” ungkapnya.
Terkait pengawasan, Fajri menjelaskan bahwa pondok pesantren menerapkan pengawasan ketat. “Kami memiliki 50 guru untuk sekitar 500 santri, dengan 38 di antaranya berperan sebagai pengasuh asrama. Setiap guru maksimal mengasuh 20 siswa, jumlah yang kami anggap memadai,” jelasnya.
Pondok pesantren juga telah melakukan tindakan preventif terkait LGBT dan kekerasan seksual. “Kami menggandeng berbagai pihak, termasuk Kepolisian dari Kapolsek Kamang dan pemateri profesional dari berbagai latar belakang, untuk memberikan materi tentang larangan dan bahaya penyimpangan seksual serta kekerasan seksual,” tambahnya.
Fajri berharap kasus serupa tidak akan terulang di lingkungan pondok pesantren. “Kami berkomitmen untuk mengantisipasi sebaik mungkin dan berharap orang tua akan tetap mempercayakan anak-anak mereka untuk belajar agama di pesantren,” pungkasnya. (pry)