AGAM, METRO–Korban pencabulan dua oknum guru di Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang, Kabupaten Agam, terus bertambah. Dari sebelumnya 40 santri laki-laki yang jadi korban, kini bertambah menjadi 43 orang setelah Satreskrim Polresta Bukittinggi melakukan pengembangan kasus.
Hal itu diungkap Kapolresta Bukittinggi, Kombes Pol Yessi Kurniati saat dikonfirmasi, Jumat (2/8). Menurutnya, penambahan jumlah korban ini setelah penyidik melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi, korban dan termasuk kedua tersangka berinisial RA (29) dan AA (23).
“Sebelumnya korban berjumlah 40 orang, namun hasil dari pengembangan kasus didapat 3 orang korban lainnya. Totalnya sekarang telah menjadi 43 orang. Setelah ada tambahan 3 orang lainnya yang juga menjadi korban dari kelainan seksual kedua tersangka,” kata Kombes Pol Yessy.
Dijelaskan Kombes Pol Yessi, tiga orang korban penambahan ini merupakan santri di Ponpes MTI Canduang. Mereka ada yang masih bersekolah di sana dan ada juga santri yang sudah tamat dari sekolah itu. Para santri tersebut merupakan korban pencabulan dalam rentang tahun 2022 hingga 2024.
“Sementara itu, untuk hasil pemeriksaan kesehatan yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya penyakit yang diderita oleh pelaku maupun korban. Kami akan terus mengembangkan kasus tersebut sehingga masih memungkinkan adanya penambahan korban,” tegas dia.
Sementara untuk kedua pelaku AA dan RA, yang mengidap kelainan seksual penyuka sesama jenis ini, kata Kombes Pol Yessi, telah ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.
“Keduanya telah dipecat oleh pihak MTI Canduang Agam karena telah melanggar aturan sekolah. Kepada para santri lainnya yang memang menjadi korban dari oknum guru itu, silahkan melapor ke Polresta Bukittinggi,” pungkas Kombes Pol Yessi.
Korban Alami Trauma
Kuasa hukum salah satu korban, Masrizal, mengakui bahwa kliennya tersebut mengalami trauma yang sangat mendalam usai kejadian pahit yang dialami. Bahkan, ketika mendengar nama MTI Canduang, korban langsung menangis, sehingga korban memilih untuk berhenti bersekolah di MTI Canduang.
“Saya berharap klien saya mendapatkan penyembuhan trauma sehingga dapat kembali melanjutkan sekolah dan menjalani kehidupan normal. Akan tetapi, ternyata tak mudah mendapatkan pesantren baru untuk menimba ilmu. Setiap pesantren yang dikunjungi oleh orang tua klien saya ini menolak siswa dari MTI Canduang. Itu tak lepas dari stigma negatif bahwa “korban pelecehan seperti ini biasanya akan mencari korban baru,” ungkap Masrizal.
Menanggapi hal tersebut, Surya Wendri dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Agam, menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan pendampingan hingga korban dapat melupakan kejadian pahit yang telah menimpa 40 korban tersebut.
“Yang terpenting di sini adalah memutus mata rantai kemungkinan korban menjadi pelaku dalam kejadian-kejadian selanjutnya,” tutupnya.
Sosiolog dari Universitas Andalas, Indah Sari Rahmaini, mengungkapkan bahwa “stigma negatif memang akan didapatkan oleh korban pelecehan seksual, khususnya di Minangkabau”. Akibat stigma negatif itu, kata Indah, korban merasa terisolasi dari masyarakat dan merasa dipermalukan.
“Hal inilah yang membuat sebuah kasus pelecehan seksual yang terjadi di sekolah dan kampus sulit untuk terungkap,” ungkap Indah.
Ia menegaskan, seharusnya masyarakat bisa memahami bahwa “kasus pelecehan seksual bukanlah aib bagi korban”, tetapi “sebuah tindakan kejahatan yang harus diberantas”. Pandangan terhadap korban pelecehan seksual itu menurutnya harus dimulai dari level keluarga, teman sebaya, dan masyarakat seperti tokoh-tokoh adat, alim ulama, cadiak pandai.
“Orang tua juga tidak boleh memberikan stigma negatif terhadap korban. Mungkin saja, perlakuan yang didapatkan oleh anak tersebut terjadinya karena adanya ancaman,” katanya.
Lebih jauh, Indah menegaskan bahwa perlindungan terhadap korban pelecehan seksual tersebut tidak hanya merupakan tugas negara, tetapi seluruh masyarakat. “Karena korban ini kan hidup di tengah masyarakat, tentunya masyarakat tidak seharusnya memberikan stigma negatif terhadap korban,” tutupnya. (pry)