Pentingnya Penguatan Nilai-Nilai Kepahlawanan

SOSIALISASI— Ketua DPRDSumbar Supardi sosialisasi penguatan nilai-nilai kepahlawanan.Dilaksanakan di Bukittinggi, tepatnya di hotel Cimpago. Senin (4/7).

BUKITTINGGI, METRO–Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat Supardi melaksanakan sosialisasi bertema ‘penguatan nilai-nilai kepahlawanan’ yang dilaksanakan di Bukittinggi, tepatnya di hotel Cimpago. Senin (4/7).

 Supardi mengatakan penguatan nilai-nilai ke­pah­lawanan pada masya­rakat sangatlah penting. Nilai-nilai tersebut akan membentuk kepribadian serta pola pikir. Selain juga menjadi bekal untuk mendidik serta membimbing generasi muda menjadi pribadi yang jauh dari pengaruh kenakalan remaja.

Peserta yang hadir da­lam sosialisasi tersebut tentu menjadi tokoh di ma­sya­rakat, setidaknya di lingkup keluarahan atau paling tidak di rumah tangga masing- masing. Melalui peserta ini diharapkan penguatan nilai kepahlawanan akan menyebar luas, melalui keluarga, me­la­lui penduduk-penduduk di tiap kelurahan.

Dia mengatakan, di te­ngah masyarakat saat ini ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian, diantaranya, kenakalan remaja, ketidakpercayaan pada orang-orang yang seharusnya menjadi panutan seperti orangtua, guru, ninik mamak, tokoh masya­rakat atau juga ustad.

“Kenakalan remaja ini banyak bentuknya. Contohnya seperti penyalahgunaan narkoba, LGBT, tawuran, kriminalitas dan lain sebagainya,” ujar Supardi.

Kemudian ada pula permasalahan maraknya informasi yang masuk melalui internet seperti youtube dan google. Ini akan mempengaruhu kultur serta pola pikir.

“Itulah mengapa penguatan nilai-nilai kepahlawanan perlu dilakukan di tengah masyarakat. Agar ruang-ruang kosong dan idola serta panutan ini terus terisi penuh,” ujarnya.

Menurut generasi mu­da saat ini kesusahan me­nen­tukan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk di tengah-tengah gencarnya informasi dan tontonan yang masuk me­la­lui berbagai alat, salah satunya internet.

“Selain itu pula dikare­na­kan generasi nuda kehilangan sosok idola yang bisa mereka contoh untuk menjadi sosok yang lebih baik. Atau bisa jadi pula mereka salah menempatkan sosok yag dijadikan idola,” ujarnya.

Anak-anak zaman se­ka­rang, lanjut Supardi kebanyakan merasa bahwa tokoh-tokoh fiktif di film-film lah yang merupakan pahlawan. Tokoh-tokoh ini­lah kemudian yang mereka idolakan, mereka tiru.

Di lain sisi, lanjutnya, tokoh-tokoh pahlawan yang sebenar-benarnya tidak mereka anggap pahlawan. Pada hal banyak pahlawan dari Sumbar, seperti  M. Natsir, Mohammad Hatta, Tan Malaka atau bahkan pahlawan yang telah lebih terdahulu seperti Syekh Khatib Al Minangkabawi.

Secara psikologi, nilai kepahlawanan mereka ti­dak tertanam di alam ba­wah sadar bawah sadar. Se­hingga tidak ada pula keinginan untuk mencontoh pemikiran, sikap para pahlawan ini.

“Nilai kepahlawanan sangar bergantung pada sudut kita memandang maka amat perlu kita mengajarkan serta mensosialisasikan tentang pahlawan kora. Dengan begitu generasi muda akan mengenal lalu mencontoh pada pahlwan-pahlawan ini,” ujarnya.

Di lain sisi, lanjut Supardi amat sedikit dokumen atau literasi tentang para pahlawan tersebut. Begitu pula untuk pahlawan-pahlawan asal Ranah Minang.

Salah satunya tentang M. Natsir. Dokumen atau literasi tentang M. Natsir sangat sedikit, padahal tanpa M. Natsir tidak ada NKRI melainkan hanya RIS.

Begitu pula tentang Tan Malaka. Supardi mengatakan Tan Malaka seringkali hanya distreotipkan sebagai tokoh paham kiri.

“Padahal banyak yang bisa ditiru dan diidolakan dari Tan Malaka,” ujarnya. (hsb)

Exit mobile version