Dan pada tahun 2006, dipaparkan Aidil, perjanjian 2001 tersebut berubah, dari yang sebelumnya pihak perusahaan yang mengadakan, dan masyarakat terima bersih dalam bentuk kebun sawit seluas 1000 hektare berubah menjadi pihak perusahaan menyerahkan biaya dan alat untuk pembuatan kebun sawit bagi masyarakat sendiri dengan jumlah lahan tetap berubah dan masih di dalam lahan yang diserahkan 11 ribu tersebut.
“Dan bayangkan, dari 11 ribu hektare yang masyarakat serahkan, masyarakat hanya menuntut 1000 hektare sebagai haknya, dan itu pun perusahaan masih mau berbelit-belit dalam penyediaannya,” tegasnya.
Dan dari total lahan 1000 hektar yang dijanjikan tersebut, disebutkan dia, memang telah disediakan sebanyak 450 hektar oleh perusahaan, namun tentu masih ada hak kami yang belum dituntaskan oleh perusahaan tersebut sebanyak 550 hektar.
“Dan ini lah yang ingin kami tuntut, mana lahan kami yang seluas 550 hektar tersebut, jika ada, tolong tunjukkan kepada kami lokasinya, biar kami bisa mulai menanam sawit di sana,” katanya.
Terakhir, Aidil mengatakan, bahwa sebenarnya keberadaan perusahaan tersebut telah memberikan dampak yang sangat nyata secara ekologis di wilayahnya. Misalnya banjir dan longsor yang pantas diduga itu disebabkan oleh banyaknya hutan yang telah hilang di daerah tersebut. (cr1)