Selain perlunya Pemprov Sumbar membuat roapmap pengembangan desa wisata, Zuhrizul menilai masing-masing nagari juga perlu membuat roadmap dan master plan desa wisatanya. Sehingga barulah desa wisata itu jelas peruntukan wilayah. “Dengan adanya roapmap dan master plan desa wisata di nagari, sehingga desa miliki rencana detail tata ruang desa atau nagari. Siapapun wali nagari yang memimpin tinggal melanjutkan master plan-nya,” ungkapnya.
Perlu Dukungan Pemerintah
Agar ekonomi masyarakat di desa wisata bergerak, Zuhrizul juga mendorong pemerintah dan pemerintah daerah agar melaksanakan kegiatan-kegiatan pemerintah di desa wisata. “Kegiatan pemerintah agar “digeser” ke desa wisata. Apakah bimtek atau pelatihan namanya. Jadi desa wisata mendapatkan manfaatnya,” harapnya.
Selain itu, juga perlu adanya regulasi agar siswa SMP dan SMA di Sumbar, atau lokal melakukan kegiatan student homestay, yakni berwisata sambil belajar di desa.
“Dari pada siswa pergi liburan ke mall yang bersifat konsumtif. Dengan berwisata ke desa wisata, siswa SMP dan SMA bisa belajar tentang adat dan budaya Minangkabau, seperti silat, sumbang duo baleh, permainan anak-anak nagari. Bisa juga ke sawah, menikmati kuliner tradisional, subuh-subuh salat ke masjid. Anak-anak kota tidak bisa merasakan kehidupan seperti ini,” terangnya.
Dengan ikut permainan anak nagari di desa wisata, maka akan menghindari anak-anak bermain gadget. Namun, agar mereka bisa belajar adat dan budaya Minangkabau di desa wisata, juga harus melibatkan ninik mamak, alim ulama, pemuda dan Ibu-ibu pelaku UMKM untuk menghadirkan oleh-oleh souvenir.
“Kita harus menyatukan persepsi untuk menciptakan roadmap yang jelas sebagai fondasi bagi industri pariwisata Sumbar, khususnya wisata edukasi yang memiliki potensi besar untuk dijual kepada wisatawan,” lanjutnya.
Sementara, Pakar Pariwisata dari Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Siti Fatimah, mengungkapkan konflik internal di desa atau nagari wisata sebagai masalah utama.
“Berbagai teori pariwisata tidak akan efektif jika isu konflik internal di tingkat desa atau nagari tidak ada solusinya. Hampir seluruh desa wisata di Sumbar menghadapi masalah ini, dengan penggunaan dana desa sebagai pemicu utama,” jelas Wakil Rektor UNP tersebut.
Menurut Siti Fatimah, konflik internal yang tidak tertangani sering kali menjadi penghambat utama kemajuan desa wisata. “Saya sudah lebih dari 10 tahun melakukan pemberdayaan, dan menyelesaikan konflik internal adalah tugas yang paling berat,” tambahnya.
Sekretaris TP2 DEWI Sumbar, Elvis menyampaikan beberapa tantangan lain dalam pengembangan desa wisata. Di antaranya minimnya pemasaran digital, kurangnya dukungan dari para pemangku kepentingan, terbatasnya pelatihan teknis, hingga kurangnya penyelenggaraan even berskala nasional dan internasional. “Semoga ini menjadi perhatian semua dinas terkait, bukan hanya Dinas Pariwisata,” harap Elvis.(fan)




















