Peran Pranata Sosial dalam Menangani Isu Pekerja Anak di Indonesia

Mardhiyah Khairun Nisak Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unand

Oleh: Mardhiyah Khairun Nisak Mahasiswa (Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unand)

Pendahuluan

Permasalahan mengenai pekerja anak di Indonesia menjadi salah satu isu sosial yang memprihatinkan, fenomena ini tak jarang disebabkan oleh keluarga yang terjerat kemiskinan dan kurangnya akses pendidikan bagi mereka, serta kurang kesadaran mengenai hak hak anak.

Hak anak adalah hak hak asasi yang melekat pada setiap anak, dan berfungsi sebagai dasar ba­ngunan dari budaya penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Ada 4 dasar hak anak berdasarkan Konvensi Hak Anak (KHA), yaitu Hak Hidup, Hak Tumbuh Kembang, Hak Perlindungan dan Hak Partisipasi.

Mengutip data dari Ba­dan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja anak di Indonesia pada Tahun 2023 mencapai 1,01 juta orang. Jutaan anak Indonesia be­kerja dalam berbagai sektor, seperti pertanian, perikanan, sektor jasa, dan industry. Kondisi ini mengancam hak anak dalam mem­peroleh pendidikan yang layak dan merampas masa kanak kanak mereka.

Latar Belakang

Pekerja anak adalah istilah yang merujuk pada mempekerjakan anak anak dibawah umur dengan mak­sud mengeksploitasi anak anak untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya, merugikan anak secara fisik, mental, sosial, ataupun moral. Menurut (KPPA & BPS, 2019), Pekerja anak merupakan penduduk usia 5-17 tahun yang melakukan kegiatan eko­nomi, minimal satu jam berturut turut tanpa terputus dalam periode seminggu dengan tujuan memperoleh pendapatan atau imbalan dalam bentuk lain.

Penyebab utama yang mempengaruhi eksploitasi pekerja anak adalah kondisi ekonomi keluarga yang sulit. Karena, seringkali keluarga yang terjerat kemiskinan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar­nya seperti sandang, pa­ngan dan papan, maka karena inilah anak anak dianggap sebagai sumber pendapatan tambahan bagi keluarga untuk memenuhi kebutuhan dan biaya hidup sehari hari.

Faktor yang kedua a­dalah kurangnya akses pendidikan karena biaya sekolah yang mahal dan sekolah yang terlalu jauh dari tempat tinggal karena akses transportasi yang tidak memadai didaerah terpencil. Faktor selanjutnya adalah, kurangnya men­dapatkan perhatian orang tua seperti kasih sayang dan pendidikan.

Pekerjaan yang dilakukan oleh anak anak tersebut seperti menjual barang dagangan seperti tisu dan lain-lainnya di jalan raya dan di atas bus, menjadi pengamen jalanan, memakai baju boneka di jalan raya , membantu bekerja di ladang ataupun bekerja di pertambangan seperti mengangkat batu dan pasir. Hal ini mengakibatkan hak hak anak tidak terpenuhi berupa hilangnya masa kanak kanak karena ikut serta mencari nafkah serta dapat merugikan keselamatan dan tumbuh kembang anak.

Pemerintah Indonesia telah berupaya menangani isu ini melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang memberikan perlindungan atas hak hak anak, termasuk dengan hak bebas dari eksploitasi ekonomi. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang larangan anak anak yang bekerja dibawah umur 18 tahun. kecuali pada umur 13-15 mereka dapat melakukan pekerjaan ringan asalkan tidak membahayakan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak.

Selanjutnya untuk menyelesaikan perma­salahan tersebut diatas, dapat dilakukan melalui  peran pranata sosial. Pranata sosial adalah seperangkat aturan yang bersifat abstrak yang bergerak dalam masalah sosial kemasyarakatan yang memiliki peran penting dalam menangani isu pekerja anak di Indonesia, beberapa pranata sosial yang berperan dalam konteks ini yaitu:

  1. Pranata Keluarga. Keluarga adalah tempat dimana seorang anak pertama kali mendapat pendidikan, dalam hal ini tentulah keluarga harus berperan dalam melindungi, mengayomi, dan memastikan anak mendapatkan haknya. Orang tua pun harus paham tentang pentingnya masa kanak kanak yang sehat, kesadaran akan pentingnya Pendidikan dan tidak memaksa anak untuk bekerja pada usia dini.
  2. Pranata Hukum. Da­lam hal ini, pemerintah menetapkan aturan dan perundang undangan se­perti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, peme­rintah harus memastikan bahwa undang undang ini diterapkan secara tegas dan tidak ada anak diba­wah umur yang dipekerjakan secara illegal.
  3. Pranata Pendidikan. Sekolah dapat berperan dalam menangani pekerja anak dengan memastikan anak anak tetap dapat me­lanjutkan sekolah melalui pengadaan program beasiswa atau program pe­ngurangan biaya sekolah.
  4. Pranata Ekonomi. Pemerintah dapat memberikan bantuan sosial kepada masyarakat miskin dalam Langkah menghindari peningkatan pekerja anak, bantuan sosial ini seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Sosial Tunai (BST) dan lain lain.
  5. Peran. Lembaga/Kementerian/Pemda Pemerintah juga berperan dalam melaksanakan Program Pendidikan bagi anak-anak yang tidak sekolah dan anak-anak yang putus se­kolah sehingga anak-anak tersebut memperoleh pemahaman akan pentingnya pendidikan sekolah sebagai persiapan bekal memperoleh pekerjaan sesuai kompetensi yang diiinginkan anak-anak ter­sebut. Beberapa Lembaga yang menangani isu pekerja anak ini adalah Kemen­terian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), PAACLA Indonesia, dan lain lain.

KESIMPULAN

Pekerja anak adalah isu yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti kemiskinan, rendahnya akses Pendidikan, serta ku­rangnya kesadaran akan hak hak anak. Anak anak yang menjadi pekerja se­ring menghadapi kondisi kerja yang berbahaya, serta kehilangan kesempatan untuk mendapat Pendidikan yang layak, yang akhir­nya hal ini berpengaruh pada perkembangan kondisi mental, fisik, dan social anak.

Untuk itu perlulah peran pranata social disini sebagai suatu system norma dan institusi yang mengatur kehidupan bermasya­rakat se­perti pranata keluarga, hukum, Pendidikan, ekonomi, dan juga peran institusi atau kementerian. (***)

Exit mobile version