PADANG, METRO–Money politic atau politik uang menjadi potensi pelanggaran paling besar dalam perhelatan Pilkada Serentak 2024 yang digelar di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, minus provinsi DI Jogjakarta.
“Bisa kita lihat pada Pileg pada Februari 2024 lalu, monet politic, kentara di lapangan. Bahkan ada Anggota DPR RI terang-terangan mengaku menghabiskan dana sekitar Rp20 miliar,” kata Pengamat Hukum Unand Prof. Dr. Busyra Azheri, kemarin.
Apalagi Pilkada, potensi ancamannya lebih besar. Di daerah yang diperkirakan terjadi pertarungan sengit antara pasangan calon (paslon), money politic menjadi senjata mumpumi bagi paslon yang berkantong tebal.
Dia rela mengguyurkan uang miliaran dan dalam bentuklainnya demi memenangkan kontestan pilkada. Karena itu, Busyra meminta penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu untuk kerja ekstra di sini, dengan melibatkan aparat keamanan lain dan elemen masyarakat. Diharapkan dapat membuka kotak pengaduan secara online sehingga laporan cepat masuk dan segera pula disikapi.
“Benar sejumlah organisasi/lembaga ada yang membuka kotak pengaduan secara online, tapi organisasi/lembaga ini, bukanlah terkait dengan penyelenggaraan pilkada. Masuk laporan, tetap akan melaporkan juga kepada Bawaslu. Jadi Bawaslu kuncinya,” kata dia.
Kemudian money politic baik berupa cash (tunai) maupun online (via rekening), partipasi masyarakat sangat diharapkan. Bahkan money politic sistem online, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPTAK) diharapkan pro aktif. Diminta atau tidak diminta harus mengamatinya dan mesti mendalami traksaksi yang mencurigakan.
Busyra berharap kepada penyelenggara Pilkada tidak hanya fokus bagaimana pilkada berjalan lancar, tapi soal money politic ini harus diperhatikan benar. Masyarakat harus diberikan pemahaman utuh soal money politic ini.
Kemudian kepada pengurus parpol juga memberikan pendidikan politik kepada masyarakat soal money politic ini, apalagi risiko yang dihadapi bila terbukti melakukannya. Dalam memilih, calon kepala daerah, dilihat rekam jejaknya sehingga masyarakat tidak salah pilih.
Sebab, yang terbukti melakukan money politic baik yang memberi maupun yang menerima sesuai Undang-undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sanksinya cukup berat.
Isinya, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu, dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
“Baik yang memberi maupun yang menerima, pidana penjaranya antara 3 tahun sampai 6 tahun dan denda antara Rp200 juta sampai Rp1 miliar. Jadi hati-hati betul soal money politic ini. Jangan hanya gara-gara terima Rp100 ribu atau Rp300 ribu, tapi akibatnya penjara minimal 3 tahun, denda minimal Rp200 juta,” terangnya. (fan)