Oleh: Virsa Apriyuan Tanjung dan Tressyalina (Universitas Negeri Padang)
Minangkabau adalah suku yang memiliki banyak budaya dan adat istiadat yang masih sangat kental, bahkan sampai saat ini. Hal ini karena masyarakat Minangkabau sangat memegang teguh apa yang diturunkan oleh leluhurnya atau biasa disebut Niniak Mamak. Budaya Minangkabau atau disingkat Minang ini umumnya sudah dikenal baik di dalam maupun di luar Minang. Contohnya saja pepatah, “Adaik basandi sarak, sarak basandi kitabullah” yang dikenal sampai ke luar Minang.
Pepatah ini merupakan pedoman hidup masyarakat Minangkabau yang artinya menjadikan agama sebagai patokan hidup. Budaya Minangkabau benar-benar mengatur masyarakatnya dalam segala aspek. Hal ini dapat dilihat dari Sumbang Duo Baleh yang menjadi tolak ukur kesopanan, khususnya bagi kaum perempuan.
Sumbang Duo Baleh terdiri dari sumbang duduak, sumbang tagak, sumbang bajalan, sumbang bakato, sumbang mancaliak, sumbang makan, sumbang pakaian, sumbang kajaro, sumbang tanyo, sumbang jawek, sumbang bagaua, dan sumbang kurenah. Dari dua belas sumbang atau aturan tersebut, ada sumbang bakato yang artinya aturan dalam berkata-kata atau berbicara. Budaya Minangkabau sudah mengatur tata berbicara dalam aturan kato nan ampek.
Kato nan ampek merupakan aturan berbicara dalam budaya Minangkabau. Sesuai dengan namanya, ada ampek yang berarti empat aturan dalam berbicara, yaitu: kato mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato malereang. Kato mandaki digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, misalnya orangtua, guru, kakak dan sejenisnya. Bahasa yang digunakan harus memperhatikan nilai kesopanan yang menandakan rasa hormat.
Kato manurun digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih kecil atau muda, misalnya adik. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang lembut, menandakan kasih sayang. Kato mandata digunakan ketika berbicara dengan teman sebaya, bahasa yang digunakan cenderung lebih santai, tetapi tetap memperhatikan nilai kesopanan.
Kato malereang digunakan ketika berbicara dengan orang yang disegani atau dihormati, bahasa yang digunakan cenderung rapi dan menggunakan peribahasa atau perumpamaan.
Nilai-nilai yang ada pada kato nan ampek mencakup nilai raso, nilai parriso, nilai malu dan nilai sopan. Nilai raso maksudnya rasa menghargai satu sama lain termasuk dalam berbicara, harus memperhatikan pilihan kata yang tepat menyesuaikan dengan lawan tutur.
Nilai parriso maksudnya kemampuan seseorang dalam membina, sehingga menciptakan persatuan dan kerjasama melalui musyawarah dan mufakat yang dilakukan. Masyarakat Minangkabau sangat membudayakan sikap malu dalam kehidupannya, khususnya kaum perempuan yang sangat dihormati dan dijaga. Sikap malu ini harus diperhatikan saat berbicara, jangan sampai terucap kata-kata kotor ketika berbicara.
Nilai kesopanan juga sangat dinjunjung tinggi dalam budaya Minangkabau. Nilai kesopanan ini dapat dilihat dari cara bicara seseorang. Setelah bertahun-tahun sejak kato nan ampek dikenalkan pada masyarakat Minangkabau, tentu ada yang namanya perubahan, bukan kato nan ampek yang berubah, akan tetapi masyarakatnya.
Masyarakat Minangkabau modern atau masyarakat Minangkabau saat ini mungkin masih mengenal istilah kato nan ampek, tapi apakah niai-nilai di dalamnya masih diterapkan? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Jika diamati, bahasa generasi muda saat ini seringkali berubah-ubah, bergantung pada bahasa yang sedang tren di media sosial. Pengaruh media sosial tampak begitu nyata, contohnya dapat dilihat dari penggunaan kata “gue-lo”.
Muda-mudi Minangkabau saat ini banyak yang menggunakan kata “gue” untuk membahasakan didirnya dan “lo” untuk lawan tuturnya padahal berbicara dengan bahasa Minang. Sebelum pengaruh “gue-lo” masuk, yang digunakan adalah “awak”, “denai” atau nama si pembicara, dan “kau” bagi lawan tutur perempuan, serta “ang/waang” bagi lawan tutur laki-laki, atau nama si lawan tutur.
Pada dasarnya tidak ada yang salah dalam hal ini, jika diterapkan pada teman sebaya. Berbeda jika diterapkan pada orang yang lebih tua. Akan tetapi, banyak muda-mudi Minang yang ketika berbicara pada kakaknya justru seperti berbicara pada teman sebaya, menggunakan “gue-lo” atau “aden-kau/ang”.
Hal ini sebenarnya tidak terjadi di Minangkabau saja, di berbagai daerah juga sudah sangat lumrah, sebagai simbol keakraban, katanya. Namun, pada kenyataannya ini bertentangan dengan salah satu nilai pada kato nan ampek, yaitu kato mandaki.
Saat ini nilai-nilai kato nan ampek sudah terlupakan meskipun eksistensi kato nan ampek sendiri masih ada. Selain pengaruh media sosial, ada juga penyebab lain yang membuat nilai-nilai kato nan ampek terikis, yaitu dihapuskannya pelajaran BAM di sekolah. BAM atau Budaya Alam Minangkabau dulunya adalah mata pelajaran wajib di sekolah, mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas.
Namun, seiring berjalannya waktu, BAM tidak lagi menjadi mata pelajaran wajib, padahal pelajaran BAM sangat mengenalkan budaya-budaya yang ada di Minangkabau, seperti asal-usul nama Minangkabau, pakaian adat, juga nilai-nilai dan penerapan kato nan ampek.
Contoh lain yang membuktikan bahwa nilai-nilai kato nan ampek terkikis adalah carut-marut yang dianggap biasa, bahkan dianggap keren.
Penormalisasian penggunaan carut-marut ini sangat disayangkan karena bertolak belakang dengan nilai kesopanan yang dijunjung tinggi di Minangkabau. Generasi muda saat ini seringkali mengeskpresikan segala sesuatu dengan carut-marut, tak peduli ia sedang berbicara dengan siapa.
Carut-marut pada teman sebaya dianggap biasa dan simbol keakraban, tetapi tetap saja melanggar nilai kesopanan. Carut-marut pada yang lebih muda tentu tidak baik, mengajarkan sesuatu yang salah dan tidak sopan. Carut-marut pada orang yang lebih tua bisa dikatakan sebagai hal fatal, sangat tidak sopan, dan tidak menunjukkan rasa hormat.
Sangat disayangkan carut-marut berbahasa Minang dikenal banyak orang melalui media sosial, hal ini benar-benar tidak mencerminkan budaya Minangkabau yang menjunjung tinggi nilai kesopanan. Harapan besar bagi generasi muda saat ini, khususnya muda-mudi Minangkabau agar mengembalikan etika sopan santun dalam berbicara. Mengembalikan nilai-nilai kato nan ampek pada tempatnya.
Bisa menyesuaikan ketika berbicara, dengan orang yang lebih tua gunakan kato mandaki, dengan yang lebih muda gunakan kato manurun, dengan teman sebaya gunakan kato mandata, dan dengan orang yang disegani gunakan kato malereang. Tidak menyamaratakan semua usia dengan alasan sudah dekat atau agar tercipta keakraban. Berhenti normalisasi penggunaan carut-marut atau kata-kata kotor baik di kehidupan nyata atau media sosial. (***)