Penulis: Engla Warizki, S.I.Kom (Analis Kebijakan Muda Pada Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Sekretariat Daerah Kab. Lima Puluh Kota)
Pada 27 November mendatang kita akan melaksana Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) secara serentak. Adapun pemilihan kepala daerah serentak kali ini meliputi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota . Tahapan dari pilkada serentak ini telah dimulai sejak awal tahun 2024.
Namun sebelumnya kita juga telah diwarnai dengan euphoria dari pemilihan presiden (pilpres) pada akhir 2023 hingga pilpres pada Februari kemaren. Tentunya di era digital para actor politik maupun para pemilih sangat mudah untuk mencari informasi terkait calon kepala daerah yang akan kita pilih nantinya.
Hal ini dikarenakan media digital membuka ruang komunikasi dan partisipasi politik dengan meningkatkan kemungkinan interaksi antara elemen penting didalamnya yakni partai dan institusi negara yang disebut sebagai elite dan warga negara atau nonelite. Hal tersebut dilandasi oleh karakter baru Internet yang tidak dimiliki media massa tradisional yakni interaktif, aktif dan kreatif, langsung, menjamin kesetaraan dan berjaringan (Dijk, 2013). Mendukung pernyataan tersebut, Tsagarousianou (1999) membuat 3 klaim positif tentang peran Internet selama 25 tahun terakhir dalam proses demokrasi yakni membuka ruang pertukaran dan konfirmasi informasi, mendorong debat publik dan formasi deliberasi serta partisipasi warga dalam pengambilan keputusan politik.
Merujuk pada pandangan Tsagarousianou tersebut, komunikasi politik merupakan bagian penting dari proses demokrasi. Komunikasi politik sebagai salah satu hal krusial dalam proses demokrasi juga mengalami transformasi. Internet sebagai media baru memunculkan konsekuesi praktik diskusi politik yang tidak hanya berlangsung di ruang nyata (real) namun juga komunikasi yang dimediasi ruang maya.
Kehadiran Buzzer di Medsos
Satu hal yang yang tidak lepas dari proses demokrasi di era digital ini yaitu adanya Buzzer. Buzzer merupakan istilah baru sejak media sosial marak digunakan. Buzzer dikenal sebagai salah satu aktor paling penting dalam penggalangan opini di dunia maya yang menjalankan fungsi pemasaran untuk menjual sebuah produk. Strategi pemasaran yang diterapkan para buzzer secara umum, terbagi dua yaitu melalui kampanye negatif dan positif.
Hanya saja, pemakaian istilah buzzer di media sosial cenderung diidentikkan dengan penggunaan strategi kampanye negatif sehingga membuat istilah tersebut terkesan negatif
Melihat massifnya pergerakkan buzzer pada pesta demokrasi saat ini, baik pada pilpres maupun pilkada belakangan ini. Menggelitik suatu pertanyaan bagi penulis “Buzzer pada demokrasi di era digital peluang atau tantangan ?
Istilah buzzer sendiri mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak Pemilihan Umum tahun 2019 berlangsung.
Pada saat Pemilu 2019, muncul banyak buzzer yang menyuarakan dukungannya, mengampanyekan, dan berusaha memengaruhi opini publik melalui media sosial yang dimilikinya. Penelitian The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation, menyatakan bahwa jasa buzzer atau pasukan siber digunakan oleh para aktor politik untuk melakukan propaganda komputasi, demi mencapai tujuan politik yang telah ditentukan. Melihat dari pengalaman Pemilu tahun 2019, jasa buzzer digunakan kandidat calon terpilih untuk mendukungnya menang dalam pemilihan tersebut.
Buzzer sendiri bisa berupa individu atau sekelompok orang, yang memiliki dorongan dari dirinya sendiri untuk menyuarakan pendapat yang sama, atau sudah diatur sedemikian rupa untuk menyuarakan suatu isu. Para Buzzer dapat menggunakan berbagai macam media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook, tiktok yang sangat melekat pada “gen z” dan lain sebagainya untuk menyuarakan isu kepentingan mereka. Buzzer ini dapat menggunakan identitas asli dirinya atau juga menggunakan identitas palsu untuk menyuarakan kepentingannya di media sosial.
Kebebasan menyampaikan pendapat melalui media sosial dalam suatu iklim negara demokrasi digunakan oleh netizen sebagai fungsi kontrol sosial, selanjutnya hasrat menstimulasi netizen untuk berbuat lebih yaitu dengan menyampaikan ujaran kebencian. Berbagai kondisi ini kemudian membentuk polarisasi netizen di media sosial pada setiap Pemilu maupun Pilkada.
Industri buzzer telah memanfaatkan momentum kontestasi politik di Indonesia untuk mendapatkan profit finansial. Isu mengenai identitas ataupun kehidupan pribadi seseorang telah diubah menjadi suatu komoditas untuk menciptakan pesan-pesan politik yang kurang berkualitas.
Buzzer politik telah menggunakan segala lini media sosial untuk melancarkan aksinya sehingga dapat memperluas jangkauan khalayak. Industri buzzer pada akhirnya dinilai sebagai kemunduran dalam menggunakan media komunikasi karena turut menyampaikan pesan-pesan yang dinilai tidak mengindahkan berbagai etika.
Tangkas Buzzer dengan Pemilih cerdas
Ali Sahab SIP MSi, pengamat politik Universitas Airlangga (UNAIR), melalui wawancara dengan UNAIR NEWS pada Selasa (13/2/2024) memberikan tanggapan mengenai hal itu. Ia mengatakan bahwa fenomena buzzer memang tidak dapat terhindari di Indonesia, terutama menjelang Pemilihan Umum. Akan tetapi, fenomena ini dapat disiasati dengan pencerdasan pemilih.
Maka dari itu perlu ditanamkan konsep “pemilih cerdas” dalam setiap kontestasi pemilu maupun pilkada. Karena hanya dengan kecerdasan dari para pemilih . Pemilih yang belum tahu mau memilih siapa saat Pemilihan Umum nanti akan mudah terpengaruhi oleh akun-akun buzzer yang tersebar di media sosial. Sehingga perlu pencerdasan pemilih agar pemilih tidak tertipu akun buzzer yang kerap menyebarkan hoax,” tutur Ali.
Pergeseran konsep ini tidak dapat dilepaskan dari konteks kemajuan teknologi komunikasi dalam memproduksi dan mengupload kata-kata, pesan, informasi, hingga video. Masyarakat yang mau tidak mau, suka atau tidak suka akan tergiring pada arus media sosial, seyogyanya dapat mengambil sikap bijak untuk tidak terbawa pengaruh para buzzer, serta tidak terlibat dalam perang siber.
Masyarakat diharapkan cukup mengambil sikap konsisten pada jalur demokrasi bertanggung jawab, dan sekedar menjalankan pesta demokrasi dengan mencoblos sesuai hati nurani.
Untuk mencerdaskan para pemilih yang berasal dari berbagai kalangan ini tentunya bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja. Kita sebagai akademis, praktisi, serta intelektual di dalam masyarakat juga bertanggungjawab untuk mengedukasi para pemilih yang masih sulit memfilter informasi hoax dan fakta. (***)