Buzzer sendiri bisa berupa individu atau sekelompok orang, yang memiliki dorongan dari dirinya sendiri untuk menyuarakan pendapat yang sama, atau sudah diatur sedemikian rupa untuk menyuarakan suatu isu. Para Buzzer dapat menggunakan berbagai macam media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook, tiktok yang sangat melekat pada “gen z” dan lain sebagainya untuk menyuarakan isu kepentingan mereka. Buzzer ini dapat menggunakan identitas asli dirinya atau juga menggunakan identitas palsu untuk menyuarakan kepentingannya di media sosial.
Kebebasan menyampaikan pendapat melalui media sosial dalam suatu iklim negara demokrasi digunakan oleh netizen sebagai fungsi kontrol sosial, selanjutnya hasrat menstimulasi netizen untuk berbuat lebih yaitu dengan menyampaikan ujaran kebencian. Berbagai kondisi ini kemudian membentuk polarisasi netizen di media sosial pada setiap Pemilu maupun Pilkada.
Industri buzzer telah memanfaatkan momentum kontestasi politik di Indonesia untuk mendapatkan profit finansial. Isu mengenai identitas ataupun kehidupan pribadi seseorang telah diubah menjadi suatu komoditas untuk menciptakan pesan-pesan politik yang kurang berkualitas.
Buzzer politik telah menggunakan segala lini media sosial untuk melancarkan aksinya sehingga dapat memperluas jangkauan khalayak. Industri buzzer pada akhirnya dinilai sebagai kemunduran dalam menggunakan media komunikasi karena turut menyampaikan pesan-pesan yang dinilai tidak mengindahkan berbagai etika.
Tangkas Buzzer dengan Pemilih cerdas
Ali Sahab SIP MSi, pengamat politik Universitas Airlangga (UNAIR), melalui wawancara dengan UNAIR NEWS pada Selasa (13/2/2024) memberikan tanggapan mengenai hal itu. Ia mengatakan bahwa fenomena buzzer memang tidak dapat terhindari di Indonesia, terutama menjelang Pemilihan Umum. Akan tetapi, fenomena ini dapat disiasati dengan pencerdasan pemilih.
Maka dari itu perlu ditanamkan konsep “pemilih cerdas” dalam setiap kontestasi pemilu maupun pilkada. Karena hanya dengan kecerdasan dari para pemilih . Pemilih yang belum tahu mau memilih siapa saat Pemilihan Umum nanti akan mudah terpengaruhi oleh akun-akun buzzer yang tersebar di media sosial. Sehingga perlu pencerdasan pemilih agar pemilih tidak tertipu akun buzzer yang kerap menyebarkan hoax,” tutur Ali.
Pergeseran konsep ini tidak dapat dilepaskan dari konteks kemajuan teknologi komunikasi dalam memproduksi dan mengupload kata-kata, pesan, informasi, hingga video. Masyarakat yang mau tidak mau, suka atau tidak suka akan tergiring pada arus media sosial, seyogyanya dapat mengambil sikap bijak untuk tidak terbawa pengaruh para buzzer, serta tidak terlibat dalam perang siber.
Masyarakat diharapkan cukup mengambil sikap konsisten pada jalur demokrasi bertanggung jawab, dan sekedar menjalankan pesta demokrasi dengan mencoblos sesuai hati nurani.
Untuk mencerdaskan para pemilih yang berasal dari berbagai kalangan ini tentunya bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja. Kita sebagai akademis, praktisi, serta intelektual di dalam masyarakat juga bertanggungjawab untuk mengedukasi para pemilih yang masih sulit memfilter informasi hoax dan fakta. (***)




















