Sedangkan Ariq Al Hani, seorang seniman illustrator dan graphic designer lepas yang aktif berkolaborasi dengan seniman di Kota Padang. Ia tertarik dengan artwork, street art, dan manajemen pameran (inisiator Exhibition Kolektif “Hey Youth”). Beberapa karya kolaborasi dengan musisi berupa cover album dan merchandise band seperti The Secret, Cerberus, DivineCult, The Brotherman Blues, Paulphobia, Rules Eighteen, Flamed Chalice. Ia juga merupakan founder dari 3 brand busana Galanthus Nivalis, Socialdistress dan Nanaka Magic.
The Land of Dragon: Sebuah Ironi Atas Nama Pembangunan, Konservasi dan Pariwisata
Selain pameran foto, akan digelar screening film dokumenter, launching dan diskusi buku karya Fatris MF yang berjudul “Di Bawah Kuasa Naga. The Land of Dragon”. Film dan buku ini catatan dari perjalanan Fatris MF ke Labuan Bajao, Nusa Tenggara Timur, dan secara khusus memotret Taman Nasional Komodo, sebuah tempat yang berjarak lebih dari 3000 kilometer dari Sumbar pada tahun 2020.
Fatris merekam ingatan kolektif masyarakat suku Komodo atau Ata Modo tentang bagaimana hubungan mereka dengan saudara komodo-nya yang diberi nama “sebae”, makhluk yang sering disebut peneliti Eropa sebagai naga terakhir di muka bumi. Sebae yang disyairkan mereka dalam dendang dan cerita legenda masyarakat suku Ata Modo sebagai saudara manusia.
Soal ironi pembangunan restoran, swalayan, dan hotel megah di Labuan Bajo yang dibeli oleh orang luar sana, kapal-kapal wisata mewah yang mampir dan dibukanya lapangan kerja baru dari aktivitas tersebut, tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat di sana. Resort sangat mewah bisa berdiri, sedangkan kampung di Pulau Komodo dengan populasi 1700 jiwa memiliki masing-masing hanya satu puskesmas, SD dan SMP.
Nyatanya masyarakat suku Ata Modo tetap hidup dalam kemiskinan. Mereka, bahkan semakin miskin karena yang tinggal di kawasan Taman Nasional “Komodo” dilarang berburu rusa, mengambil hasil hutan lainnya, dan menangkap ikan dengan pukat. Perlahan mata pencaharian mereka menghilang.
Hal terburuk, mereka yang menetap di Pulau Komodo terancam untuk disingkirkan atas nama konservasi. UNESCO mencap kawasan ini sebagai cagar biosfer dunia di tahun 1977 dan Sail Komodo pada tahun 2013. Konservasi celakanya hanya menjadi isu yang meminggirkan kemanusiaan.
Fatris memotret dengan intens keadaan masyarakat di kawasan Taman Nasional Komodo ketika Covid-19 melanda. Mata pencaharian awal masyarakat hilang berganti dengan menggantungkan hidup kepada turis-turis yang melancong. Covid-19 membuat kondisi ekonomi masyarakat makin hancur porak-poranda. Barang-barang mereka tergadai untuk menyambung hidup.
Khusus film, Fatris dibantu oleh Dhika Rizki Sandy, salah seorang sineas asal Sumatra Barat. Dhika kini menempuh studi di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta, dengan penjuruan penyutradaraan film. Selama studinya, Dhika menghasilkan beberapa film pendek, diantaranya; A Gift (2019), Lautan Lara (2020), Lanita (2021), Rasa (2022) dan A Star Is Fucking Born (2023) sebagai film pendek terakhirnya yang masih tayang di beberapa festival film lokal dan internasional.
Pameran fotografi, art, pemutaran film, peluncuran buku di “Di Bawah Kuasa Naga” akan berlangsung selama 4 hari. Selain itu ada diskusi, bincang santai kuratorial, live mural serta penampilan musik dari Echoflow dan Calon Pemusik Negeri Sipil (CPNS).
Kegiatan ini didukung oleh UPTD Taman Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Sumbar, Gapz!, Komunitas Seni Nan Tumpah, Sarga, Steva, Clera Studio, Pelita Padang, Rumah Ada Seni, PCCF, Kupi Batigo, Kubik Coffee, Info Sumbar, Minang Lipp, Ota Lapau, We The Syne, dan Rohana Project.(rel/fan)