Oleh: Firdaus Abie
Tiba-tiba saya berpikir, peranggai suporter sepakbola di Sumbar sudah berubah. Selama 30 (tiga puluh tahun) lebih menjadi wartawan, berlatarbelakang wartawan olahÂraga, peristiwa yang terjadi di Stadion H. Agus Salim Padang, Sabtu 9 Maret 2024, saat laga final Liga II antara Semen Padang vs PSBS Biak, merupakan catatan terburuk yang tersaji di stadion tersebut.
Buntut dari aksi pembakaran/penembakan flare tersebut, palu vonis Komisi Disiplin (Komdis) PSSI menjatuhkan sanksi kepada tuan rumah Semen Padang FC (SPFC) berupa:Â tiga kali jadi tuan rumah tanpa penonton plus denda Rp 100 juta. Vonis dijatuhkan karena (diperkirakan puluhan) flare dilepaskan dari tribun Selatan dan Utara. Ada juga yang membawa masuk ke lapaÂngan. Sejumlah orang terkena tembakan/serpihan flare, termasuk diantaranya ada yang pingsan.
Setelah sanksi dijatuhkan Komdis PSSI, mengapa lagi? Langkah cepat tanggap dan introspeksi besar-besaran harus dilakukan.
Gerak cepat, tentunya deÂngan menyikapi keputusan yang sudah dikeluarkan, Minggu (17/3) malam. Pada sejumlah peristiwa, sanksi yang sudah dijatuhkan, bisa diringankan ketika tim yang diberi sanksi mengajukan banding.
Pada Liga II/2023-2024, saat Persiraja vs PSMS Medan, sempat terjadi keributan. Suporter Persiraja mengancam tim PSMS Medan. Komdis PSSI menjatuhkan denda dua kali pertandingan tanpa penonton. Persiraja mengajukan banding. Hasilnya, sanksi diringankan menjadi satu perÂtandingan tanpa penonton.
Ketika PSIS Semarang bermain kandang, terjadi keributan antar penonton. Komdis menjatuhi sanksi tanpa peÂnonton. PSIS Semarang mengajukan banding. Keputusan akhirnya, penonton dilarang di tribun tempat lokasi keributan.
Terhadap sanksi tersebut, CEO SPFC Win Bernardino, mengungkapkan kepada media, Senin (18/3/2024), kemungkinan tidak akan melakukan banding atas sanksi itu. Kata Win, pihaknya menerima sanksi karena tahu mereka yang salah. Soal banding atau tidak, menjadi urusan manajemen SPFC sepenuhnya. Apa pun keputusannya, harus pula dihormati.
Di sisi lain, serasa ada sesuatu yang ganjil, tidak masuk akal dan sekaligus tanda-tanya besar, apakah benar fans atau pecinta SPFC yang membakar dan menembakkan flare adalah pecinta sepakbola? Begitu pun dengan orang-orang disekelilingnya, apakah masih bisa dikatakan sebagai pecinta sepakbola? Kalau masih mengaku pecinta sepakbola, apalagi pendukung tuan rumah, maka perangai buruk yang dipertontonkan tersebut tidak akan dilakukan dan tidak akan terjadi. Sejatinya, seoÂrang pecinta sepakbola tahu, bahwa membawa flare ke stadion, apalagi menembakkannya merupakan perbuatan terlarang dan melanggar hukum. Apalagi ada yang berlari masuk ke lapangan. Lebih parahnya lagi, flare tersebut justru diledakkan/ditembakkan justru dari area tribun fans SPFC. Tribun bermerek fans tertentu.
Bagi mereka yang biasa menonton partai SPFC, maka semuanya tahu bagian setiap tribun yang mengelilingi lapaÂngan. Tribun Timur, diperuntukkan untuk penonton umum, tanpa embel-embel supporter tertentu. Tribun Barat (tribun tertutup) dibagi dua. Kiri kanan untuk penonton umum. TeÂngah, penonton VIP dan Media. Tribun Selatan ditempati UWS dan Spartaks. Tribun Utara biasanya ditempati The Kmers. Flare justru berasal dari tribun Selatan dan Utara.
Pertanyaannya, apakah suporter yang katanya fans dengan merek tertentu, atau ada penyusup yang masuk ke barisan suporter tersebut? Kalau penyusup, mengapa bisa penyusup masuk ke barisan mereka?




















