Menunda Pemilu 2024

image description

Oleh: Reviandi

Jangan kaget dengan judul tulisan ini. Sebetulnya, wacana menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ini sudah muncul sejak Februari-Maret 2022 lalu. Saat petinggi PAN, Partai Golkar dan PKB mengungkapkan wacana penundaan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota karena berbagai alasan. Tentunya juga sekalian menunda Pemilihan Presiden (Pilpres).

Jika Pemilu dan Pilpres ditunda, tentu akan terjadi kekosongan di berbagai jabatan, baik Presiden, DPR, DPD dan DPRD. Alternatif paling logis ya perpanjangan masa jabatan, bisa satu, dua atau tiga tahun. Kalau harus menunggu lima tahun, mungkin akan susah. Tapi, perpanjangan masa jabatan itu tentu akan menjadi angin segar bagi pejabat.

Setidaknya, mereka bisa bernafas lega karena bisa terhindar dari biaya kampanye, sampai deg-degan menanti pemungutan suara. Bisa fokus bekerja untuk rakyat, atau sebaliknya, bekerja meningkatkan citra, agar terpilih pada Pemilu berikut yang tertunda. Yang jelas, tentu bisa bernafas lebih santai, karena sisa-sisa hempasan akibat pandemik Covid-19 masih ada.

Sebenarnya wacara penundaan Pemilu/Pilpres 2024 itu sudah ditolak banyak pihak, bahkan katanya juga sampai ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden ke-7 ini juga juga telah menyatakan tidak menyetujui kalau jabatannya yang akan habis 20 Oktober 2024 juga diperpanjang sampai 2026 atau 2027. Dia memilih adem dan semua berjalan seperti yang telah dijadwalkan.

Kalau semua sudah menolak, harusnya tidak ada lagi alasan negara menunda Pemilu. Meski akhir-akhir ini, marak dibicarakan kembali kemungkinan terjadinya resesi 2023. Resesi sendiri, dalam KBBI diartikan sebagai kelesuan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya (seolah-olah terhenti); menurunnya (mundurnya, berkurangnya) kegiatan dagang (industri): — telah menimbulkan pengangguran di negara-negara industri; — ekonomi kelesuan ekonomi.

Sementara definisi, resesi ekonomi secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana perekonomian suatu negara sedang memburuk yang terlihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang negatif, pengangguran meningkat, maupun pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Sinyal resesi ini juga sudah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Rakornas Kepala Daerah dan FKPD se-Indonesia, Selasa (17/1/2023). Dia menitipkan pesan kepada kepala daerah dalam menjaga inflasi dalam upaya menghindari ancaman resesi pada 2023. Pada 2023 seluruh Pemda dan K/L tetap waspada, karena situasi 2023 ditandai dengan masalah geopolitik yang susah diprediksi.

Jika kepala daerah saja sudah diwanti-wanti agar hati-hati, tentu negara lebih harus berhati-hati lagi, utamanya pemerintah pusat. Apakah resesi adalah salah satu langkah bisa menunda Pemilu atau Pilpres, tentunya tidak. Namun, seolah-olah, pembicaraan resesi ini bisa membuka jalan untuk penundaan Pemilu. Karena, wacana ini kembali diapungkan dalam sepekan terakhir.

Jika benar Pemilu akan diundur, tentu para Caleg harus kembali berhitung. Pastinya yang bukan petahana atau incumbent. Bagi anggota dewan, ya sudah senang. Tinggal kembali menunggu, dan gaji tetap lancar. Dua tahun tertunda, sudah berapa yang bisa ditabung untuk biaya berperang lagi. Bagi yang tidak petahana, tentu harus menghilang dulu agak 1,5 tahun, jelang kembali beraksi.

Apakah benar, Pemilu bisa ditunda? Dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sudah dikenal adanya kemungkinan penundaan Pemilu ini. Bakan, ada dua istilah yang dikenal, Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan. Pemilu lanjutan, digelar karena sebagian tahapan Pemilu terganggu. Pemilu susulan, digelar karena seluruh tahapan Pemilu terganggu.

Kedua ketentuan itu bisa dilakukan jika terjadi kondisi: kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengganggu tahapan Pemilu. Namun, apakah resesi dapat disebut gangguan lain atau tidak, tergantung dari penafsiran negara dan KPU.

Pada Pasal 431 UU Pemilu ayat (1) Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan.  (2) Pelaksanaan Pemilu lanjutan sebagaimana dimaksud ayat (1) dimulai dari tahap Penyelenggaraan Pemilu terhenti.

Sementara pada Pasal 432 (1) Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan.  (2) Pelaksanaan Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu.

Bahkan, pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra juga sudah memberikan alasan bagaimana Pemilu 2024 bisa ditunda. Dia membeberkan tiga cara agar penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 menjadi absah atau mendapatkan legitimasi.

Pertama, amandemen UUD 1945. Cara ini merupakan dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu. Namun, cara satu ini berisiko menimbulkan konsekuensi perpanjangan sementara masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Kedua, dengan dekrit Presiden. Presiden dapat menge­luar­kan dekrit sebagai tindakan revolusioner untuk menunda Pemilu. De­krit itu, bisa diambil Presiden untuk menunda pelaksanaan Pe­milu sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 45 harus diisi dengan Pemilu.

Jalan ketiga dengan konvensi ketatanegaraan, yakni dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau ‘constitutional convention’. Perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi, UUD 45, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggaraan negara.

Pasal 22E UUD 45 diatur bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. Pasal 7 UUD 45 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun. Sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi. Kedua pasal di atas tidak perlu diubah, tetapi dalam praktik, Pemilu dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali.

Artinya, begitu banyak cara yang bisa dilakukan jika ingin menunda Pemilu. Tentunya dengan legal dan tidak terjadinya penolakan sampai pertumpahan darah. Tapi, harus dikaji lagi lebih dalam, apakah diperlukan penundaan Pemilu dengan ancaman resesi, pemulihan ekonomi pascapandemi, keadaan krisis global dan lainnya. Atau memang Pemilu itu sendiri sebenarnya tidak terlalu diperlukan, karena tidak akan mengubah apa-apa. Cuma cara melanggengkan orang-orang berkuasa dan legal menerima gaji dari negara.

Presiden Jokowi 4 Maret 2022 pernah menyebut “Siapapun boleh-boleh saja mengusulkan penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden, Menteri atau partai politik, karena ini kan negara demokrasi. Bebas saja kalau berpendapat, tapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan saat pada konsitusi.” Sepertinya pak Jokowi belum begitu yakin dengan penundaan Pileg dan Pilpres ini. Dia masih ingin semua dilaksanakan sesuai konstitusi. Jadi, apa alasan sebenarnya dalam penundaan ini juga harus dipertanyakan. (Wartawan Utama)

Exit mobile version