Mengais Sagantang Bareh di Lubuk Palarik

DASMAN BOY, Kota Padang – SEMALAM hujan, barusan mengguyur Kota Padang dengan curah sedang, sehingga aliran Batang Guo Kuranji hanya meluap separuhnya. Namun, paginya sekitar pukul 07.00 WIB, aliran air di sungai itu sedikit deras. Namun, kondisi airnya belum begitu jernih. Tapi, endapan pasirnya di sungai itu cukup tebal.
Pagi itu, air aliran Batang Guo sedikit bebas dari kotoran dan limpah rumah tangga akibat seribuan unit rumah di Perumnas Belimbing yang limbah mengalir ke sungai ini. Belum lagi, limbah rumah tangga yang komplek perumahan yang berdakatan dengan aliaran sungai tersebut. Sehingga, para penggais rezeki sagantang bareh di aliran Batang Guo tepatnya Lubuk Palarik Lapau Manggis tidak merasakan gatal-gatal di tubuhnya.
Karena meluapnya air sungai itu mengikis semua kotoran dan limbah rumah tangga yang membuat mereka ketika memindahkan pasir , kerikil dan batu (Sirtu) ke drum yang telah dimodifikasi sedemikian rupa. Sehingga mereka tidak merasakan gatal-gatal. Saat itu Kalek (35), Bus (29) dan An Rambo (36) turun ke lubuk, yang sempat dihebohkan dihuni buaya tersebut untuk menambang pasir.
Menurut An Rambo, dia tinggal datang untuk menambang Sirtu saja ke lubuk tersebut. Semua perlengkapan seperti sekop, biduk penambang, ember pengeruk pasir sudah disediakan pemilik lahan. Si Bos kecil itu dipanggil Eka, oleh Kalek (35), Bus (29) dan An Rambo (36) maupun supir supir L 300 yang membeli pasir ke sana. Bahkan, pakaian ganti penambang juga disediakan si bos.
“Biduk penambang itu dimodifikasi dengan sedemikian rupa oleh Eka, dengan wadah pengapungnya dari jeriken yang ditambatkan di sekeliling drum tersebut. Maka, mengapunglah peralatan tambang Sirtu di sekitar Lubuk Palarik. Biduk penambang itu memakan modal Rp1 jutaan dua unit,” ujar An Rambo sambil menyeruput rokoknya.
Dituturkan Rambo, sehari ia berendam menambang Sirtu di lubuk itu bisa mengantongi penghasilan sakadar sagantang bareh lapeh samba, yakni sekadar membeli segantang beras sekaligus lauknya. Yaitu, kalau kuat sehari hanya bisa menghasilkan pasir dua uit mobil L-300. Ia sudah membawa pulang uang untuk menafkahi anak bininya senilai Rp140 ribu.
Dengan perincian satu mobil L-300 itu isinya sebanyak tiga drum tersebut dihargai Rp100 ribu. Kemudian, dipotong upah muat Rp 20 ribu dan sewa lahan Rp10 ribu. Jadi, satu unit L-300 penambang mendapatkan uang jerih payah senilai Rp70 ribu. “Namun, sehari paling bantar penambang sejak pagi hingga pukul 15.00 WIB, hanya bisa mendapatkan pasir dua mobil l-300. Karena pembelinya pada umumnya mobil bak terbuka L-300,” ujar Rambo.
Selain itu, ia juga punya teman-teman lain yang juga mengais rezeki di lubuk tersebut. Maka tidak mungkin Rambo menopoli hingga sore. Sementara, drum penambang itu hanya dimiliki bos Eka dua unit saja. Akan tetapi penambang ada empat orang di tapian tersebut. Bahkan, lebih dari empat orang. “Tentu kita berbagi rezeki dengan teman-teman yang lain,” ujar Rambo.
Namun, sial kalau curah hujan tinggi, sehingga aliran Batang Guo Kuranji meluap, dengan sendirinya kedalaman air di lubuk tersebut cukup dalam. Selain itu arusnya sangat deras, boro –boro untuk menambang bisa-bisa nyawa bisa melayang. Namun, kalau musim kemarau rintangan lainnya, kondisi air yang kotor akibat limbah rumah tangga, juga diselang selingi gangguan lintah. Bagi, teman-teman yang takut lintah tidak berani turun.
“Sehingga mereka memilih di aliran air yang deras, karen aliran deras lintah tidak berani,” ungkap Rambo, yang juga sopir odong-odong ini. (**)

Exit mobile version