PADANG, METRO–Wartawan senior Pitan Daslani menerbitkan buku berjudul “Restorasi Keadilan Tinjauan Perkara SNI Suap dan Gratifikasi di Aula pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas, Rabu (8/12). Peluncuran itu dihadiri oleh sejumlah pakar hukum, akademisi, kejaksaan, pengadilan, mahasiswa dan berbagai unsur lainnya.
Dalam bukunya itu, Pitan yang menjabat staf ahli Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) ini mengangkat studi kasus terhadap kasus gula SNI, suap dan gratifikasi Xaveriandy Sutanto yang menyeret nama Irman Gusman.
“Buku ini membahas tentang hukum yang berkeadilan. Sebelumnya juga ada buku menyibak kebenaran, eksaminasi terhadap putusan perkara Irman Gusman, serta buku Drama Hukum, Jejak Langkah, dan Gagasan Irman Gusman,” kata Pitan usai peluncuran buku, Rabu (8/12).
Menurut Pitan, buku Restorasi Keadilan itu memuat kajian materi akademis lebih dalam. Restorative Justice atau Restorasi Keadilan kata Pitan, merupakan upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum maupun peradilan.
“Upaya itu sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta dan Surat Edaran Kapolri nomor SE/2/II/2021 tanggal 19 Februari 2021,” ujar Pitan.
Dijelaskan Pitan, buku yang ia tulis mengangkat sisi lain kasus yang tidak terungkap ke publik. Dalam sebuah kasus hukum, aparat cenderung lebih banyak memberikan keterangan. Sedangkan pihak terduga pelaku tidak memiliki kesempatan melakukan pembelaan diri di hadapan publik.
“Selain penghakiman di pengadilan, para terdakwa juga menghadapi penghakiman publik yang cenderung mendapat informasi hanya dari satu pihak,” ujar Pitan.
Padangan Pakar Hukum
Selain peluncuran, pada kesempatan itu, beberapa pakar hukum turut memedah buku tersebut, yaitu Prof Eman Suparman (Unpad), Prof Suteki (Undip), Prof Elwi Danil (Unand), Prof Esmi Warasih Pudjirahayu, Dr Maqdir Ismail (Al Azhar Jakarta) dan Abdul Jamil (UII Jogya) yang menyampaikan secara daring.
“Yang banyak kita bicarakan adalah mengenai kasus penjualan gula non SNI oleh Xaveriandy Sutanto sesuai yang diputus oleh pengadilan. Dalam kasus gula non SNI itu harusnya didahulukan hukum administrasi sebelum penerapan hukum pidana. Tapi dalam putusan ini dicoba sedemikian rupa untuk meninggalkan perkara administrasi dan membuat ini adalah pidana murni,” kata Maqdir Ismail saat menyampaikan penilainnya.
Menurut Maqdir, awalnya Xaveriandy Sutanto dihukum 4,5 tahun, kemudian di tingkat Mahkamah Agung dihukum menjadi 2,6 bulan denda Rp1 miliar. Ditegaskannya, satu hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah soal gula kristal putih tanpa SNI yang putusannya disita untuk dimusnahkan,” ujarnya.
Tanpa adanya penjelasan apakah barang atau gula kristal putih tersebut sudah membahayakan orang atau terbukti membahayakan orang, serta tidak bisa ditunjukkan barang ini berkaitan dengan kejahatan atau digunakan untuk kejahatan. “Melihat ketentuan KUHAP untuk disita saja mustinya ini tidak memenuhi syarat, apalagi untuk dimusnahkan,” ujarnya.
Dikatakannya, dalam perkara tersebut memang sudah pernah dilakukan peninjauan kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa, namun telah ditolak hakim. “Karena itu butuh dukungan masyarakat supaya PK kedua diizinkan oleh MA untuk diperiksa, kami melihat putusan sebelumnya tidak sinkron dengan fakta-fakta dan hukum acara juga tidak tepat,” katanya.
Sementara Prof Elwi Danil, mengatakan, jika berangkat dari ketentuan KUHAPidana maka PK hanya satu kali.ý Namun, ketentuan tersebut telah diuji ke MK, lalu MK memutuskan PK perkara pidana boleh lebih dari satu kali namun tidak boleh lebih dari dua kali.
“Untuk perdata hanya sekali. Alasannya untuk pidana yang dicari adalah kebenaran materil, sementara untuk perdata adalah kebenaran formil. Namun, Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran yang melarang menerima PK dua kali. Terjadi conflic of norm disitu. Kalau ditanya ke saya mana yang harus diikuti, maka putusan MK lebih tinggi gradasi hukumnya dari surat edaran MA,” pungkasnya. (rgr)




















